Cangkriman
(dalam bahasa Indonesia disebut pula cangkrim) merupakan peristiwa tutur
atau tindak tutur yang terdapat di dalam masyarakat Jawa. Cangkriman
merupakan kelompok kata, kalimat, wacana, dan tembang yang mempunyai makna
tersamar. Oleh karena itu, cangkriman harus mencari jawabannya atau menebak
apabila ingin mengetahui maksudnya. Penutur yang belum mengerti atau belum
pernah mendengarkan cangkriman, maka akan memberikan makna atau maksud
yang salah. Padahal cangkriman masih hidup di kalangan masyarakat atau penutur
bahasa Jawa.
Cangkriman merupakan
tuturan Jawa yang sangat menarik untuk diperhatikan oleh siapapun. Cangkriman
disebut pula bedhekan, yaitu merupakan kata-kata atau kalimat yang harus
dijawab, maksudnya karena kata-kata atau kalimat tersebut memiliki makna yang
di luar tuturan. Biasanya, cangkriman memang menggunakan kata-kata pertanyaan,
misalnya pak boletus apa? ’pak boletus apa?’; apa batangane sega
sakepel dirubung tinggi? ’apa jawaban nasi satu kepal dikitari kutu?; gajah
midak endhog pecah apa ora? ’gajah menginjak telur pecah apa tidak?’
lawa telu kalong loro ana pira? ’kelelawar tiga kalong (jenis kelelawar)
dua ada berapa?’ Namun demikian, apabila di dalam ber-cangkriman sudah ramai,
kata apa ’apa’ tersebut kadang-kadang tidak digunakan lagi. Misalnya, lha,
yen pitik walik saba kebon? ’kalau ayam walik yang ada di kebun?’; dan pak
bomba, pak lawa, pak piyut? ’pak bomba, pak lawa, pak piyut?’
1. Pengertian
Cangkriman
Cangkriman (dalam bahasa Indonesia disebut pula cangkrim) yang berarti
teka-teki atau tebakan.. Teka-teki adalah soal dan sebagainya yang berupa
kalimat yang dikemukakan secara samar-samar, biasanya untuk permainan atau
untuk pengasah pikiran, misalnya: yang digantungkan di atas, yang
menggantungkan di bawah (jawabannya adalah orang yang menaikkan
layang-layang). Cangkriman berarti badhekan ‘pertanyaan’ atau batangan
‘pertanyaan’.
Menurut Subalidinata (1994: 13), cangkriman merupakan kata-kata yang disusun
secara teratur, makna atau isinya mengandung maksud untuk dijawab. Cangkriman
juga disebut badhean atau bedhekan (bahkan pada wilayah tertentu
juga disebut capean).
2. Struktur atau Bentuk Cangkriman
Cangkriman merupakan ungkapan atau kalimat yang harus dijawab.
Cangkriman pada umumnya untuk permainan (gegojegan). Ada pula cangkriman
yang disampaikan untuk sayembara pada pertunjukan wayang. Cangkriman
berdasarkan strukturnya ada bermacam-macam, yaitu cangkriman wancahan
’akronim’, cangkriman pepindhan ’pengandaian’, dan cangkriman blenderan
’pelesedan’, dan cangkriman sekar ’tembang’. Ada pula yang berpendapat
bahwa struktur atau bentuk cangkriman dapat berupa kata, kalimat biasa, ada
pula yang berbentuk tembang. Pendapat lainnya tentang bentuk cangkriman,
Dwiraharjo (1981: 5) menyebutkan bahwa cangkriman bahasa Jawa berbentuk
akronim, kalimat, tembang, dan campuran. Misalnya, pipalanda (bentuk
akronim): ping para lan suda ‘perkalian pembagian penjumlahan
pengurangan’, Pitik walik saba kebon ‘Ayam berbulu keriting berkeliaran
di kebun’ (berbentuk kalimat) dan jawabannya adalah ‘nanas’, dan yang berbentuk
tembang pocung sebagai berikut.
Namung tutuk, lan netra kalih kadulu,
yen pinet kang karya,
sinuduk netrane kalih,
yeku saratira bangkit ngemah-ngemah.
(Hanya mulut, dan mata dua terlihat /
bila dimanfaatkan kerjanya / matanya dua dimasuki / yaitu sebagai syarat untuk
mengunyah (menghancurkan)’
Jawaban cangkriman berbentuk tembang
pocung tersebut adalah ‘gunting’.
2.1 Bentuk Cangkriman
Pada bagian ini akan
diuraikan bentuk-bentuk cangkriman yang dibagi menjadi 4 macam, yaitu yang
berupa sekar atau tembang, akronim, perumpanaan, dan blenderan.
2.1.1
Cangkriman Tembang
Cangkriman yang
berupa tembang ini bentuknya tembang macapat yang menceritakan sifat-sifat
suatu barang yang harus dijawab. Biasanya satu bait tembang untuk satu
cangkriman, sekalipun ada pula satu bait tembang untuk cangkriman lebih dari
satu. Misalnya, dalam tembang Asmaradana berikut.
Wontên ta dhapur sawiji,
tanpa sirah tanpa tênggak,
mung
gatraning wêtêng bae,
miwah
suku kalihira,
nging tanpa dalamakan ,
kanthaning bokong kadulu ,
rumakêt ing para priya .
(Ada satu wujud / tanpa kepala tanpa
leher / hanya bentuk perut saja / dan kaki keduanya / tetapi tanpa telapak kaki
/ wujud pinggul kelihatan / melekat pada para laki-laki //)
Jawabannya: celana.
2.1.2 Cangkriman Wancahan
Wancah
berarti singkat atau singkatan. Wancahan tersebut harus dijawab yang disusun dari baris yang
ada. Cangkriman wancahan ini wujudnya singkatan atau akronim kata-kata dari
kalimat yang digunakan untuk cangkriman. Caranya dengan menyingkat kata menurut
singkatan yang biasa terjadi dalam singkatan bahasa Jawa, yaitu dengan
menghilangkan suku kata yang depan. Dengan demikian yang digunakan dua suku
kata terakhir atau satu suku kata terakhir, misalnya bapak menjadi pak,
kebo menjadi bo, tracake menjadi cake, bapak
cilik menjadi pak lik, nama Suparyana apabila dipanggil cukup
na saja, gedhe dhuwur menjadi dhewur, dan idu abang
menjadi dubang. Untuk lebih jelasnya jenis cangkriman wancahan ini dapat
diperhatikan contoh berikut.
1.
kabakêtan = nangka
tiba nèng sukêtan ‘nangka
jatuh di rerumputan’
2.
pakbolétus = tapak
kêbo ana léléné satus ‘jejak kaki kerbau ada ikan lele
seratus’
3.
burnaskopên = bubur
panas kokopên ‘bubur
panas makanlah’
Perlu diketahui bahwa
dalam bahasa Jawa, singkatan atau akronim kata kaidahnya sudah pasti, yaitu
seperti yang telah diuraikan di atas. Dengan demikian tidak pernah akan
dijumpai akronim dengan menghilangkan bagian (suku kata) yang belakang atau
menurut selera yang membuat singkatan atau akronim. Hal ini sangat berbeda
dengan bahasa Indonesia yang dijumpai pada koran atau tayangan televisi: dalam
membuat singkatan sangat berbeda. Misalnya: ‘sembilan bahan pokok’ disingkat sembako,
‘Dewan Perwakilan Rakyat’ disingkat DPR, ‘Menteri Koordinasi Politik dan
Keamanan’ disingkat Menkopolkam. Pada acara televisi seperti: Intips
singkatan dari informasi dan tips, Jelita singkatan
dari jendela informasi wanita, Pesta singkatan dari pentas sejuta
aksi, dan Kiss singkatan dari kisah seputar selebriti, yang
jumlah dan bentuknya bermacam-macam.
Pada bagian lain,
terdapat cangkriman akronim yang berbentuk kata seolah-olah bahasa asing tetapi
setelah diperhatikan sebenarnya kata-kata bahasa Jawa. Misalnya:
4.
ling
cik tu tu ling ling yu
(seperti bahasa Mandarin) = maling mancik watu, watuné
nggoling malingé mlayu ’pencuri menginjak batu,
batunya terguling, pencurinya lari’.
5.
burnas kopên (seperti bahasa
Belanda) = bubur panas kokopên ’bubur panas
makanlah’.
2.1.3
Cangkriman Pepindhan (Irib-iriban Barang)
Cangkriman pêpindhan
bentuknya hampir sama dengan cangkriman tembang. Keduanya menyebutkan keadaan
atau sifat suatu barang, perbedaannya terletak pada jumlah kalimat yang
digunakan. Cangkriman tembang menggunakan kalimat lebih dari satu dan berbentuk
tembang dengan aturan tertentu, sedangkan cangkriman pepindhan bentuknya
kalimat, kebanyakan hanya satu kalimat, meskipun ada juga yang menggunakan
lebih dari satu kalimat.
1.
Pitik walik saba
kêbon
’ayam berbulu keriting berkeliaran di kebun = nanas ’buah nenas’
2.
Wujudé kaya kêbo,
ulêsé kaya kêbo, lakuné kaya kêbo, nanging dudu kêbo ’bentuknya seperti
kerbau, warnanya seperti kerbau, jalannya seperti kerbau, akan tetapi bukan
kerbau = gudèl ’anak kerbau’
3.
Bapak Demang klambi
abang yèn disuduk manthuk-manthuk ’Bapak
Demang berbaju merah kalau ditusuk mengangguk-angguk’ = tuntut (kembang
gedhang) ’bunga pohon pisang’
2.1.4
Cangkriman Blenderan
Blenderan juga
disebut plesetan. Bentuk cangkriman blenderan adalah kalimat yang sudah
jelas maknanya, akan tetapi makna yang tertulis itu bukan makna yang sebenarnya
(yang dimaksudkan). Cangkriman blenderan ada yang berbentuk tembang ada pula
yang berbentuk kalimat biasa. Bentuk kata yang digunakan adalah kata-kata
singkatan dan homonim.
1.
Wong
adol témpé ditalèni ‘Orang
jual tempe diikat’ = sing ditalèni témpé, dudu wong sing adol ‘yang
diikat tempe, bukan orang yang berjualan’
2.
Wong
mati ditunggoni wong mésam-mèsêm ’orang
meninggal ditunggui orang tersenyum’ = sing mésam-mèsêm wong sing nunggu,
dudu sing mati ’yang tersenyum orang yang menunggu, bukan orang yang telah
meninggal dunia’
Contoh cangkriman
blenderan yang berbentuk tembang:
- Pangkur
Badhénên
cangkriman ingwang,
tulung-tulung
ana gêdhang awoh gori,
ana
pitik ndhasé têlu,
gandhènana
êndhasnya,
kyai dhalang yèn mati sapa sing mikul,
ana buta nunggang grobag,
sêlawé
sunguting gangsir.
’Tebaklah
teka-teki saya / tolong-tolong ada pisang berbuah gori / ada ayam kepalanya
tiga / dipukul pun kepalanya / kiai dalang jika mati siapa yang memikul / ada
raksasa naik gerobak / dua puluh lima sungut gangsir //’
Batangane:
gori = ditegori; telu = dibuntel wulu; gandhenana = gandhen ana; dhalang =
kadhal lan walang; buta = tebu ditata; selawe (lawe) = bolah, benang.
’Jawabannya: gori =
ditebangi; têlu = dibungkus bulu, dipukul gandhèn = gandhèn ada; dalang = kadal
dan belalang; buta = tebu ditata; selawe ’dua puluh lima’ = lawé ’benang.’
Ada juga cangkriman
yang mirip dengan ilmu kebatinan, contohnya adalah sebagai berikut.
Pêcating
nyawa barêng blêdhosing bantala, lukar busana nyêmplung kawah candradimuka,
supayané sampurna dikanthèni sa cacah têlu (= téla pohung)
Katrangané
mangkéné: téla pohung kuwi manawa dijabut ora bisa ditandur lan urip (kêjaba
uwité = kanthi cara stek), bubar dioncèki banjur digodhog, supaya bisa énak
dibumboni sa têlu yaiku, sarêm, salam lan santên.
’Lepasnya
nyawa bersamaan dengan meletusnya bumi, melepas pakaian masuk kawah
candradimuka, agar mencapai kesempurnaan disertai sa berjumlah tiga.’ (= ketela
pohon)
Keterangannya
demikian: ketela pohon jika dicabut tidak bisa ditanam dan hidup lagi (kecuali
batangnya dengan cara stek), setelah dikupas lalu direbus, agar enak diberi
bumbu sa tiga macam yakni sarêm ’garam’, salam ’daun salam’, santên
’santan’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar