DRAFT PERGUB
GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
NOMOR
TAHUN 2013
TENTANG
KURIKULUM PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR DAERAH
ISTIMEWA YOGYAKARTA
Menimbang
|
:
|
a.
bahwa menindaklanjuti ketentuan dalam Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 16 ayat (2)
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 2011
tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Budaya disebutkan
bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai standar isi dan standar kompetensi
lulusan mengenai sikap, pengetahuan, dan keterampilan pada kurikulum
pendidikan berbasis budaya diatur dalam Peraturan Gubernur;
b.
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu ditetapkan Peraturan Gubernur tentang
Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya.
|
Mengingat
|
:
|
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 1950 Nomor 3) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1955 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 jo. Nomor 19 Tahun
1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1955 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
827);
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
3. Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, (Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah; (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
4. Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaaan Daerah Istimewa Yogyakarta
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 170, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5339);
5. Peraturan
Pemerintah Nomor 31 tahun 1950 tentang Berlakunya Undang-Undang Nomor 2, 3,
10 dan 11 Tahun 1950 (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 58);
6. Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 23, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5105);
7. Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2005;
8. Peraturan
Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2011 tentang Tata Nilai Budaya
Yogyakarta (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011
Nomor 4);
9. Peraturan
Daerah Provinsi Daerah Istimewa YogyakartaNomor 5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Budaya (Lembaran Daerah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta Tahun 2011 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5);
10. Peraturan
Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6
Tahun 2013 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Tahun 2012-2017 (Lembaran Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta
Tahun 2013 Nomor 6);
11. Peraturan
Daerah Istimewa Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2013 tentang Kewenangan dalam
Urusan Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (Tambahan Lembaran
Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2013 Nomor 9);
|
MEMUTUSKAN
:
|
||
Menetapkan
|
:
|
PERATURAN GUBERNUR TENTANG KURIKULUM PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA
|
Pasal
1
(1) Kurikulum
Pendidikan Berbasis Budaya merupakan kurikulum yang dijadikan dasar bagi
pelaksanaan pendidikan berbasis budaya pada semua jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan.
(2) Pengaturan
secara teknis pelaksanaan kurikulum pendidikan berbasis budaya dilakukan oleh
Kepala Dinas yang menangani urusan pendidikan.
Pasal
2
(1) Kurikulum
Pendidikan Berbasis Budaya segaimana tercantum dalam lampiran, merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini.
(2) Sistematika
Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas:
a. pendahuluan;
b. standar
kompetensi lulusan pendidikan berbasis budaya;
c. standar
isi atau muatan budaya dalam
pendidikan;
d. kerangka
implementasi kurikulum pendidikan berbasis budaya;
e. penutup.
Pasal
3
Peraturan
Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan:
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Ditetapkan di Yogyakarta
pada tanggal
GUBERNUR
DAERAH
ISTIMEWA YOGYAKARTA,
HAMENGKU BUWANA X
Diundangkan di Yogyakarta
pada tanggal
SEKRETARIS DAERAH
PROVINSI
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,
ICHSANURI
BERITA DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2011
NOMOR
LAMPIRAN
PERATURAN GUBERNUR
NOMOR :
TANGGAL :
TENTANG KURIKULUM PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
- Pilar-pilar Pendidikan dan Kebudayaan
Perjalanan sejarah
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah menghasilkan karakteristik yang
kental dan kaya dengan berbagai aset dan pengalaman di bidang kebudayaan
dan pendidikan. Peninggalan arkeologi di
DIY dan sekitarnya dengan jelas menunjukkan bahwa wilayah ini telah
ribuan tahun menjadi pusat peradaban berbasis pertanian yang sangat maju pada
zamannya. Era Mataram Kuno di milenium pertama yang diwarnai oleh agama Hindu
dan Budha, dan kemudian era Mataram baru
di milenium kedua yang diwarnai oleh agama Islam, telah menghasilkan akulturasi
budaya yang kaya dan bernilai luhur, terlebih lagi dalam hal seni-budaya. Misalnya
saja seni pewayangan yang begitu sarat dengan muatan nilai filosofis, yang
dikemas ke dalam pertunjukan orkestral dan kolaboratif, yang di dalamnya seni rupa,
tari, sastra, dan musik (gamelan) terintegrasi secara harmonis serta serasi
dengan arsitektur fisik dan sosialnya.
Di dalam era itu, peradaban Barat datang dengan
kolonialismenya, dan membangkitkan gerakan perlawanan terhadap penjajahan. Seiring
dengan perkembangan peradaban yang berpusat pada kerajaan berbasis pertanian tersebut
tidak dapat diabaikan peranan model pendidikan kraton, padepokan, dan pesantren yang melahirkan tokoh
besar di antaranya Pangeran Diponegoro
yang melawan penjajah dan K.H. Ahmad Dahlan yang dengan gigih melakukan upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa. Model pendidikan Barat yang baru diperkenalkan oleh penjajah dengan
politik etisnya di peralihan abad XIX ke abad XX, meskipun sangat elitis, berperanan
besar dalam membuka pikiran putra-putri terbaik bangsa, termasuk di antaranya
adalah Ki Hadjar Dewantara dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang sangat
nasionalis, walupun sempat mengenyam pendidikan di Eropa. Bahkan, pendudukan Jepang dengan militerisme modern dalam konteks
perang dunia melalui PETA ternyata menjadi katalisator perjuangan kemerdekaan. Begitulah
DIY, begitu kaya dengan pengalaman sejarah serta kaya dengan aset peradaban dan
kebudayaan bernilai tinggi, termasuk di dalamnya adalah kekayaan pengalaman dalam
mengelola kemajemukan yang terdapat
dalam masyarakat yang multietnis, multireligi, dan multikultur.
- Posisi dan Peran DIY dalam Pembangunan Pendidikan
Sejalan dengan
perkembangan kebudayaan, DIY juga mengalami pembentukan modal sosial dan modal
kultural yang cukup kuat di dalam pendidikan. Di samping pendidikan yang
mengakar pada kearifan lokal yakni pendidikan kraton, padepokan, dan pesantren
maupun pendidikan Barat atau sistem persekolahan negeri dan swasta, masyarakat
juga cukup cerdas mengadaptasikan model pendidikan Barat menjadi bentuk
perguruan yang khas seperti Muhammadiyah dan Taman Siswa yang sudah berdiri
sebelum kemerdekaan. Sejarah juga
mencatat bagaimana peran pemuda-pelajar menjadi bagian utama di dalam perjuangan
mempertahankan kemerdekaan di lima tahun pertama Republik Indonesia.
DIY memiliki pengalaman
autentik dalam hal pendidikan nasionalisme dan belanegara. Segera setelah usai
perang kemerdekaan, di DIY dirintis perguruan tinggi yang di kemudian hari
dikenal sebagai pemula dari pendidikan tinggi di tanah air, yakni Universitas
Gadjah Mada (negeri), Universitas Islam Indonesia (swasta), dan Institut Agama
Islam Negeri Sunan Kalijaga. Kehadiran perguruan tinggi tersebut mendorong banyak
putra-putri dari segenap penjuru tanah
air menempuh pendidikan di DIY karena pada waktu itu belum banyak provinsi memiliki perguruan
tinggi.
Peristiwa tersebut
menimbulkan efek berantai yang sangat positif, sehingga DIY menjadi miniatur Indonesia karena menjadi
tempat bertemunya putra-putri bangsa dari seluruh penjuru Indonesia.
Kemajemukan menjadi semakin nyata, pendidikan multikultural dan akulturasi
budaya secara autentik terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Kesadaran akan
sejarah pendidikan ini perlu diangkat dan diperkuat karena diyakini memiliki
nilai positif bagi pembangunan pendidikan DIY. Paling tidak, sejarah juga
mencatat bahwa pendidikan di DIY bukan hanya untuk DIY, akan tetapi juga
menjadi layanan dengan daya saing kuat yang dibutuhkan oleh putra-putri bangsa
dari luar DIY. Para alumni tidak hanya berhasil menyelesaikan pendidikan dengan
kualitas yang pantas dibanggakan, tetapi mereka
juga mengalami pendidikan autentik dari kehidupan di DIY. Bahwa dewasa ini hampir semua daerah
memiliki layanan pendidikan yang baik, bagi DIY menjadi situasi yang positif karena akan senantiasa dituntut untuk
menyajikan pendidikan yang berkualitas
dan berdaya saing kuat.
Kepedulian dan komitmen
DIY terhadap persoalan pendidikan dan kebudayaan mengedepan, baik pada pendekatan level praktik maupun pendekatan yuridis-formal. Keduanya diwarnai oleh konsep bahwa
pendidikan tentang kebudayaan dilakukan dengan cara pembudayaan dan di dalam
lingkungan kebudayaan. Di masyarakat tumbuh pesat industri kreatif, desa
wisata, dan berbagai bentuk lain dari penguatan kearifan lokal. Dari sisi
produk hukum telah ada di antaranya: Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan
DIY yang isinya antara lain kewenangan mengatur
kebudayaan, Peraturan Daerah
Nomor 4 Tahun 2011 tentang Tata Nilai Budaya Yogyakarta, Peraturan Daerah
Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Budaya, dan beberapa turunan produk hukum sebagai acuan operasional.
Salah satu acuan operasional yang memiliki nilai strategis
untuk mengimplementasikan peraturan daerah tentang pendidikan berbasis
budaya adalah kurikulum pendidikan
berbasis budaya. Setiap satuan pendidikan didorong untuk kreatif mengembangkan dirinya
melaksanakan pendidikan yang kaya dengan muatan budaya, kental dengan
pendekatan pembudayaan, di dalam lingkungan pendidikan berjatidiri budaya Jogja. Pada saat yang bersamaan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan sedang mulai menggulirkan Kurikulum 2013 yang di
antaranya mengedepankan pendekatan
tematik-integratif serta muatan pendidikan nilai. Konteks kebijakan nasional yang demikian sejalan
dengan kemauan politik DIY untuk memberdayakan kebudayaan sebagai salah satu
acuan di dalam pengembangan kurikulum.
B. DASAR
1.
Dasar Filosofis /Teoretis
a. Kualitas,
ekualitas, dan popularitas
DIY memiliki
komitmen untuk menyajikan pendidikan yang secara simultan peduli terhadap
persoalan kualitas pendidikan untuk semua dengan mempertimbangkan permintaan,
kebutuhan, dan kapasitas masyarakat pengguna layanan pendidikan. Konsep ini sudah
mengintegrasikan konsep pendidikan pro-rakyat, dan bahwa pendidikan perlu
memiliki kontribusi terhadap kemajuan daya saing daerah dan nasional. Di
samping itu, terdapat asumsi bahwa sistem layanan pendidikan harus mendidik
masyarakat sehingga masyarakat senantiasa lebih bijak di dalam pembuatan
keputusan pendidikan untuk anak dan warganya.
Penerapan
konsep tersebut dalam kebijakan pengembangan kurikulum pendidikan berbasis
budaya mengisyaratkan bahwa satuan pendidikan diharapkan dan difasilitasi agar
mampu dan memiliki komitmen terhadap hal-hal berikut ini.
1) Mengidentifikasi
bersama dengan para pemangku kepentingan, unsur-unsur kebudayaan yang tepat dan
terjangkau untuk menjadi bagian yang terintegrasi dalam pendidikan yang
dikelolanya.
2) Merancang
dan melaksanakan secara sungguh-sungguh kurikulum pendidikan berbasis budaya
yang sesuai dengan peserta didiknya.
3) Memantau,
menilai, dan mengendalikan secara
terus-menerus keefektifan dan mutu pelaksanaan, serta hasil-hasil yang dicapai
dari kurikulum pendidikan berbasis budaya.
b. Pendidikan
sebagai pembudayaan
Konsep
pendidikan sebagai proses pembudayaan (enkulturasi) dan sosialisasi mengandung
beberapa pengertian yang mendasar dan berkonsekuensi luas, di antaranya adalah hal-hal
berikut ini.
1) Konstruktivis:
kemampuan peserta didik ditumbuhkan agar tidak hanya menerima sesuatu yang sudah jadi, tetapi
melalui keterlibatan langsung dalam aktivitas kebudayaan sehingga mereka mampu
mencerna dan menarik makna dari pengalaman nyata yang diperoleh. Peserta didik
juga diberi peluang untuk kreatif membangun sendiri makna berdasarkan
pengalaman budaya, dengan demikian terbuka peluang berkembangnya kebudayaan dengan
sentuhan kendali pendidik untuk hal-hal yang bersifat esensial (pakem).
2) Esensialis:
pendidik diharapkan memiliki kearifan di dalam mengidentifikasi dan menentukan
unsur kebudayaan yang perlu dikuasai oleh peserta didik. Demikian pula halnya di
dalam merancang cara yang tepat dan sesuai dengan karakteristik peserta didik, dan kondisi yang dimiliki oleh satuan
pendidikan, agar dicapai hasil terbaik.
2. Dasar Sosial
Dasar
sosial pengembangan kurikulum pendidikan berbasis budaya adalah keistimewaan
DIY sebagaimana digelar oleh sejarah,
yang pada saat ini telah mendapatkan
pengukuhan dari pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012.
Kekayaan nilai yang terkandung dalam aset budaya mencakup hal-hal berikut ini.
1) Nilai-nilai
luhur yang terumuskan di dalam berbagai ungkapan budaya, seperti hamemayu hayuning bawana, golong gilig, sawiji,
greget, sengguh, ora mingkuh, dan delapan belas butir
nilai luhur seperti yang tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2011.
2) Produk atau artefak budaya yang berupa karya seni
budaya dan karya lain yang sarat dengan nilai-nilai luhur, termasuk di dalamnya
arsitektur fisik lokal yang kaya dengan
nilai keharmonisan, keindahan, dan kekokohan (misalnya saja joglo tahan
gempa) yang sekaligus mencerminkan aspek-aspek pranata sosial lain.
3) Aktivitas
budaya, termasuk di dalamnya adalah adat dan kebiasaan serta berbagai perilaku
masyarakat di berbagai bidang kehidupan yang majemuk, baik kehidupan pribadi,
kelompok, maupun komunitas, yang kesemuanya mencerminkan nilai-nilai luhur, seperti
gotong-royong, kepemimpinan, dan pola asuh.
Warna
pendidikan DIY tidak dapat dipisahkan dari produk reflektif pemikiran Ki Hadjar
Dewantara, yang berdasarkan pengalaman-pengalamannya sebagai bangsawan Jawa
yang memperoleh pendidikan Barat, telah
mampu menghasilkan butir-butir pemikiran reflektif tentang pendidikan.
Butir-butir pemikiran tersebut antara lain adalah sebagai berikut ini.
1) Tri
Pusat Pendidikan, yang terdiri atas
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah (perguruan), dan alam pemuda
(masyarakat).
2) Sistem
Among yang mengandung konsep tri-nga (tiga nga-), yakni
ngerti, ngrasa, nglakoni, dan trilogi kepemimpinan yang terdiri
atas ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani.
3) Pancadarma,
yang terdiri atas kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan.
4) Tri-kon,
yakni kontinyu, konsentris, dan konvergensi.
- Dasar Yuridis
a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
b.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2012 tentang Keistimewaan DIY, yang salah
satu unsur keistimewaannya terkait
dengan urusan kebudayaan.
c.
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan
dan Penyelenggaraan Pendidikan.
d.
Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
e.
Peraturan Daerah DIY
Nomor 4 Tahun 2011
tentang Tata Nilai Budaya Yogyakarta.
f.
Peraturan Daerah DIY Nomor
5 Tahun 2011
tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Budaya.
g. Peraturan Gubernur DIY Nomor
68 Tahun 2012 tentang Pedoman Penerapan Nilai-Nilai Luhur Budaya dalam
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
h. Peraturan Gubernur DIY
Nomor 77 Tahun 2012 tentang
Rencana Strategis Pembangunan
Pendidikan Daerah.
C. KONSEP
DASAR PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA
Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2011
tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Budaya mengamatkan bahwa
pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan berbasis buadaya dilaksanakan
berdasar dan mengacu pada Sistem Pendidikan Nasional dengan menjunjung tinggi
nilai-niliai luhur budaya. Dengan demikian, pendidikan berbasis budaya sifatnya
memperkaya atau memberi nilai tambah terhadap implemetasi kebijakan pendidikan
nasional yang dilaksanakan di Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan memberi
penguatan berupa ruh budaya, baik pada isi maupun pelaksanaannya. Konsep dasar
pendidikan berbasis budaya menempatkan kebudayaan dalam pendidikan dalam tiga
ranah berikut ini.
- Sebagai muatan isi pendidikan;
- Sebagai metode pelaksanaan/pembelajaran; dan
- Sebagai konteks lingkungan pendidikan, termasuk dalam kaitannya dengan manajemen pendidikan.
Ketiga ranah tersebut menuntut konsekuensi adanya
upaya pengembangan kurikulum pendidikan berbasis budaya dan pengaturan tentang
sistem pendukung atau manajemen pendidikan berbasis budaya. Dengan demikian,
pendidikan berbasis budaya dimaknai dalam tiga hal utama: (a) pendidikan tentang
budaya (budaya sebagai isi); (b) pendidikan melalui pembudayaan (budaya sebagai
metode); dan (c) pendidikan dalam
lingkungan budaya (budaya sebagai medan atau lingkungan).
Dengan konsep dasar pendidikan berbasis budaya seperti tersebut di atas,
maka pendidikan berbasis budaya mempunyai nilai atau manfaat sebagai berikut
ini.
- Mewujudkan pendidikan karakter, yakni untuk menghasilkan generasi yang berkarakter yang secara simultan dapat menunjang pembangunan karakter dan peradaban bangsa.
- Melaksanakan pelestarian budaya, yakni untuk mengawal budaya lokal dalam konteks perubahan sosial dan budaya masyarakat.
- Mendukung pengembangan atau transformasi budaya, yakni melakukan akulturasi budaya secara arif, mencegah terjadinya pengikisan jatidiri budaya, sehingga dapat ikut serta menguatkan kedaulatan kebudayaan nasional dalam konteks global.
BAB II
STANDAR KOMPETENSI LULUSAN
Kompetensi adalah kemampuan bersikap, berpikir, dan
bertindak secara konsisten sebagai perwujudan dari pengetahuan, sikap, dan
keterampilan yang dimiliki peserta didik. Standar Kompetensi Lulusan (SKL) adalah
kriteria mengenai kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan yang dimiliki peserta didik pada satuan
pendidikan tertentu. SKL terdiri atas kriteria kualifikasi kemampuan
peserta didik yang diharapkan dapat dicapai setelah menyelesaikan masa
belajarnya di satuan pendidikan pada jalur/jenjang
/jenis pendidikan.
SKL pendidikan berbasis
budaya sifatnya lebih banyak memberikan penguatan kompetensi dari aspek penguasaan tata nilai budaya
sehingga dapat memberikan nilai tambah dan menjadi ciri khas output pendidikan
di Daerah Istimewa Yogyakarta. Berikut ini adalah penguatan atau nilai tambah
kompetensi yang diharapkan dicapai melalui pendidikan berbasis budaya.
1. SKL Pendidikan
Berbasis Budaya pada Pendidikan Anak Usia Dini
a. Memiliki
perilaku yang mencerminkan sikap beragama yang menjunjung nilai budaya dalam
berinteraksi dengan lingkungan sosial dan alam di lingkungan rumah, lembaga
pendidikan, dan tempat bermain.
b. Memiliki
pengetahuan faktual tentang budaya yang terkait dengan fenomena dan kejadian di
lingkungan rumah, lembaga pendidikan, dan tempat bermain.
c. Memiliki
kemampuan menghayati, berpikir dan bertindak dalam ranah konkret yang sesuai
dengan tata nilai budaya.
2. SKL Pendidikan
Berbasis Budaya pada Pendidikan Sekolah Dasar (SD/ sederajat)
a. Memiliki
perilaku yang mencerminkan sikap beragama yang menjunjung nilai budaya dalam
berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam di lingkungan
rumah, sekolah, dan masyarakat serta
pergaulan dengan teman sebaya.
b. Memiliki
pengetahuan faktual tentang budaya yang sejalan dengan rasa ingin tahunya
yang terkait dengan fenomena dan kejadian di lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat serta pergaulan dengan teman
sebaya.
c. Memiliki
kemampuan menghayati, berpikir, dan bertindak
produktif dan kreatif tentang budaya dalam
ranah konkret dan abstrak, yang sesuai
dengan tata nilai budaya dan tugas perkembangannya.
3. SKL Pendidikan
Berbasis Budaya pada Pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP/ sederajat)
a. Memiliki
perilaku yang mencerminkan sikap beragama yang menjunjung nilai budaya dalam
berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam, dalam di lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat
serta pergaulan dengan teman sebaya.
b. Memiliki
pengetahuan faktual dan konseptual tentang budaya berdasarkan rasa ingin
tahunya, yang terkait dengan fenomena dan kejadian yang tampak mata, di
lingkungan rumah, sekolah, dan
masyarakat serta pergaulan dengan teman sebaya.
c. Memiliki
kemampuan menghayati tata nilai budaya dan spiritual, kemampuan berpikir dan bertindak
efektif dan kreatif tentang budaya, baik
dalam ranah abstrak maupun konkret
sesuai dengan yang dipelajari dan
atau dialami di sekolah dan atau satuan pendidikan lain, serta dari berbagai
sumber lain.
4. SKL Pendidikan
Berbasis Budaya pada Pendidikan Menengah
a. Memiliki
perilaku yang mencerminkan sikap yang
menjunjung tinggi nilai budaya dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan
sosial dan alam serta dalam menempatkan diri dalam tata pergaulan yang lebih
luas.
b. Memiliki
pengetahuan faktual , konseptual, prosedural, dan metakognitif tentang budaya
berdasarkan rasa ingin tahunya yang terkait dengan penyebab serta dampak
fenomena dan kejadian di lingkungan rumah, sekolah, dan dan masyarakat serta pergaulan dengan teman
sebaya.
c. Memiliki
kemampuan menghayati tata nilai budaya dan spiritual, kemampuan berpikir dan bertindak secara arif, efektif,
dan kreatif tentang budaya dalam ranah abstrak dan konkret, sebagai pengembangan dari yang dipelajari dan
atau dialami di sekolah atau satuan pendidikan lain, secara mandiri, dalam
konteks pembangunan peradaban bangsa.
5. SKL Pendidikan
Berbasis Budaya pada Pendidikan Tinggi
Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap beragama
yang menjunjung nilai budaya dalam berinteraksi secara efektif dengan
lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri dalam tata pergaulan
yang lebih luas.
BAB III
STANDAR ISI ATAU MUATAN BUDAYA DALAM PENDIDIKAN
Dalam
tata pergaulan dan tegur sapa internasional, apapun bentuk dan wujud warisan
budaya bangsa akan menjadi modal, benteng, dan sekaligus sebagai “paspor utama”.
Menjadi modal karena dengan dan melalui
budaya, kita dikenal oleh dan memperkenalkan diri kepada bangsa-bangsa lain. Modal
budaya merupakan modal kita dalam berelasi dan berinteraksi dengan pihak lain. Pengakuan
bangsa-bangsa lain atas tingginya nilai-nilai budaya yang kita miliki merupakan
“paspor” yang melegitimasi bahwa secara kultural kita sah bergaul dan berposisi
setara dengan mereka. Sementara itu, proses berelasi dan berinteraksi dengan pihak
lain juga meniscayakan masuknya beragam
nilai secara tak terhindarkan,yang dalam sejumlah hal acapkali bertentangan
dengan nilai-nilai yang sudah lama terinternalisasi dan diyakini. Dalam konteks
inilah nilai-nilai yang inheren dalam warisan budaya bangsa berfungsi
sebagai benteng. Akan tetapi, yang menjadi persoalan mengapa kecenderungan
materialistik dan hedonik makin hari makin mengedepan di tengah kehidupan
masyarakat, mengapa nilai-nilai kebangsaan kita juga terasa kian pudar padahal
kita memiliki modal, paspor, dan benteng budaya yang kokoh. Pernyataan
berikutnya,apakah ada yang salah dalam mengelola sistem dan mekanisme
kebudayaan dalam konteks kebangsaan kita, dimanakah posisi pendidikan, sudahkah
pendidikan menunaikan imperatif-imperatif utamanya: ideologis, edukatif,dan
kultural.
Terdapat paling tidak empat alasan mengapa proses penyelenggaraan
pendidikan tidak boleh mengabaikan aspek kebudayaan.
1) Dalam
keseluruhan dan keutuhannya, kebudayaan merupakan lahan dan habitat utama bagi
tumbuhnya identitas dan kepribadian.
2) Kebudayaan
memerlukan upaya “pelestarian”melalui pendidikan,yakni pendidikan yang
memberikan pencerahan terhadap pentingnya nilai budaya, baik dalam sifatnya
yang preservatif maupun progresif.
3) Penyelenggaraan
pendidikan tanpa orientasi budaya meniscayakan terasingnya peserta didik dari
nilai-nilai luhur.
4) Tanpa
para pendukung yang sadar dan terdidik, fungsi kebudayaan sebagai sumber nilai
lama-kelamaan akan hilang. Butir-butir ini menjadi makin terasa penting tatkala
membicrakan kaitan antara nialai-nilai budaya dan pendidikan.
Proses penyelenggaraan pendidikan hendaknya mampu menunaikan secara imperatif
yang telah diisyaratkan oleh perubahan sosial yang terjadi akhir-akhir ini, yang
secara tak terhindarkan telah mempengaruhi tata kehidupan budaya kita, baik
yang menyangkut makna, kreativitas, cita-rasa, konsep, komunikasi, maupun
sosialisasinya. Artinya, akselerasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang
terimplikasikan dalam proses penyelenggaraan pendidikan, hendaknya selalu
diiimbangi dengan maksimalisasi kebermaknaan pendidikan di berbagai tingkatan
persekolahan yang ada. Berdasarkan pengamatan sementara, dapat dicatat,
misalnya saja yang terjadi di tingkat
pendidikan dasar dan menengah, para peserta-didik kurang dilatih dalam
menangkap getaran-getaran kehidupan yang terdapat atau terekspresikan dalam
karya-karya budaya.
Kita memang tidak menolak adanya sistem
pendidikan yang menekankan hukum logika dan sistematika berpikir. Tapi
pendidikan semacam ini tentu saja merupakan awal untuk mencapai tujuan lebih
jauh ke depan. Memberikan ruang bagi dorongan-dorongan kemanusiaan, dorongan
hati nurani perlu dilakukan dalam proses pendidikan. Berpikir sistematis dan
logis memang perlu, tapi getar nilai-nilai kehidupan bukannya tidak penting. Praksis
pendidikan yang baik merupakan sarana mempersiapkan dan menuju kehidupan yang
merangkum. Diterlantarkannya pengembangan kreativitas sebagai bagian dari aspek
afektif individu dan begitu ditonjolkannya aspek kognitif mengakibatkan peserta
didik jauh dari sistem nilai yang antara lain dapat diperolehnya melalui karya
budaya. Akibat lebih jauh, karya-karya budaya menjadi terpencil karena tidak
dihargai.
Berdasarkan ketiga hal tersebut, hal yang mendesak untuk segera
dilaksanakan adalah pengarahan ulang dalam sejumlah hal yang terkait dengan
upaya-upaya pendidikan agar masuknya kuman-kuman “konservatisme” dalam sistem
pendidikan dapat dicegah dan diatasi. Untuk itu, paling tidak terdapat dua hal
yang dapat diidentifikasikan agar pendidikan dapat memberikan sumbangan
strategis dalam konteks kebudayaan.
1) Di
persekolahan, pendidikan harus dilaksanakan secara dinamis dan kreatif.
Strategi transaksional yang mencoba menghindarkan diri sejauh-jauhnya dari
delivery system dalam pendidikan dapat
dijadikan salah satu alternatif. Dengan demikian, watak dan bentuk
persekolahanpun harus berubah: dari sekolah sebagai tempat menghafal menjadi
sekolah sebagai tempat untuk berpikir, menghayati persoalan, dan memecahkannya.
Di samping itu, pendidikan hendaknya melibatkan kemampuan memperoleh informasi
dan bagaimana mengolah informasi itu, termasuk bagaimana menyikapinya secara kreatif.
Selama ini sumber informasi utama bagi peserta didik adalah guru.
2) Materi
pembelajaran yang diberikan kepada para peserta didik hendaknya berupa materi
yang berpotensi mampu membuat peserta didik menjadi lebih kritis, menjadi lebih
peka terhadap beragam situasi kehidupan. Dalam kaitan ini, semboyan “dekatkan
anak didik dengan lingkungan dan jangan mengasingkannya” dapat diupayakan
melalui pemilihan bahan pendidikan yang bersifat “lokal”. Dalam konteks seperti
dikemukakan di atas, kaitan antara nilai-nilai budaya dan pendidikan pun makin
jelas relevansi dan signifikansinya.
Upaya pelestarian warisan budaya, melalui
jalan apapun termasuk jalan pendidikan, di satu sisi dapat diperhitungkan sebagai dasar bagi upaya
menciptakan situasi sadar budaya bangsa. Hanya saja, ia bisa memunculkan
paradoks di sisi lainnya,yakni ketika ia ditafsirkan secara linear bahwa kita
akan hidup di masa depan, bukan di masa lalu. Bahkan, ketika proses ini menjadi
eksklusif, ia menjadi tantangan tersendiri karena yang tercipta bukan lagi
kesadaran bersama dalam konteks nation state, melainkan semangat
etno-nasionalisme.
Upaya pelestarian warisan budaya hendaknya diorientasikan pada upaya
membangun kesadaran terhadap realitas budaya yang ada. Implikasinya, upaya
tersebut juga berfungsi memposisikan identitas budaya yang pada akhirnya harus
menjadi spirit yang tidak boleh diabaikan dalam konteks menjaga nilai-nilai
yang ada agar tidak pudar dan agar nilai-nilai itu tetap dihayati dalam situasi
apapun. Dengan demikian, proses mempertahankan identitas, yang mungkin saja
(sebagian) hilang karena proses relasi dan interaksi yang telah, sedang ,dan
akan terus terjadi, hendaknya menjadi sebuah upaya yang sistematik,
berkesinambungan, dan melembaga. Harapannya, seluruh warga bangsa diharapkan
memiliki kekenyalan budaya yang memadai. Dengan selalu memperhitungkan warisan
budaya lewat dan dalam proses pembudayaan, keniscayaan masyrakat terperangkap
dalam situasi menjadi masyrakat yang terasing dari realitas dirinya yang
“menjadi ada” dalam pengertian “menjadi seperti liyan dan bukannya dirinya
sendiri”dapat dihindari.
Nilai-nilai budaya meniscayakan fungsi yang strategis bagi pembentukan
karakter dan identitas, yang pada gilirannya akan memunculkan sikap budaya yang
mandiri, penuh inisiatif, dan kreatif. Pelestarian dan pengembangan nilai-nilai
yang relevan dan kontekstual memiliki arti penting bagi berkembangannya suatu
masyarakat. Dinyatakan demikian karena warisan budaya merupakan sumber
inspirasi kreatif bagi masyarakat dan daerah yang menjadi lokus warisan budaya
itu.
Warisan budaya yang juga meniscayakan adanya muatan nilai-nilai budaya
masa lalu, dengan demikian juga berfungsi untuk membangun kerinduan pada
kehidupan nenek moyang yang menjadi tonggak kehidupan masa sekarang. Anggapan
bahwa yang relevan dengan kehidupan hanyalah “masa kini dan di sini” juga dapat
dihindari. Nilai-nilai budaya dapat dijadikan semacam jembatan yang
menghubungkan masa lalu dan masa sekarang, generasi nenek moyang dan generasi
sekarang, demi menyiapkan masa depan dan generasi mendatang. Pada gilirannya,ia
pun dapat dijadikan semacam simpai perekat budaya antar generasi.
Dalam konteks butir-butir di atas, pendidikan dapat diposisikan secara
strategis. Artinya, pendidikan itu secara keseluruhan hendaknya dimaknai
sebagai proses pembudayaan. Untuk itu, keutamaan kecendekiawanan dan pengayaan
kultural merupakan keniscayaan, yaitu keniscayaan untuk menanamkan ke dalam
dirinya prinsip-prinsip etika dan kebenaran moral yang berasal dari cita-cita
peradaban dan warisan intelektual yang benar-benar berakar pada kultural
sendiri.
Pengintegrasian nilai-nilai warisan budaya dalam proses pendidikan
mengandaikan bahwa peserta-didik akan mengkonstruksikan pengetahuan atau
menyemaikan benih-benih nilai positif dalam dirinya sebagai hasil “pemikiran”
dan interaksinya dalam konteks sosial-budaya yang mengepung dan
mengkondisikannya. Peserta-didik diharapkan mampu menciptakan makna yang saheh
bagi dirinya berdasarkan interaksi antara pengetahuan yang telah dimiliki,diketahui,
dan dipercayai dengan gejala,gagasan, atau informasi baru yang diperoleh di
dalam proses pendidikan yang ditempuhnya. Oleh karena itu, nilai-nilai budaya
yang dimaksud harus dihadirkan dalam kelas pembelajaran.
Penempatan warisan budaya sebagai konteks pendidikan akan berpotensi
mendekatkan dan menyadarkan peserta-didik terhadap lingkungan kehidupannya:
dari adat istiadat,benda-benda budaya hingga nilai-nilai yang inheren di dalamnya. Dengan demikian, strategi
penghadiran lingkungan budaya merupakan bagian dari proses penebaran benih dan
dan pembumian nilai. Ketika peserta-didik berinteraksi dan baradaptasi dengan
lingkungan (budaya), sesungguhnya mereka sedang berada dalam peristiwa belajar.
Lingkungan budaya merupakan sebuah “lokus” untuk mendapatkan pengalaman (pengalaman baru). Warisan budaya yang diintegrasikan dalam
praksis pendidikan akan menciptakan medan eksplorasi bagi peserta-didik dalam
memahami dan menghayati nilai tertentu. Mereka berinteraksi dengan warisan
budaya melalui beragam proses.
Ketika nilai-nilai budaya ditautkan dengan,
dan diintegrasikan dalam pendidikan, terdapat tiga alternatif yang
dimungkinkan.
1) Pendidikan
tentang budaya : menempatkan budaya sebagai subjek dan objek kajian: menjadi
mata pelajaran tentang budaya dan untuk budaya. Dalam hal ini, budaya tidak
terintegrasi dengan disiplin keilmuan lain.
2) Pendidikan
dengan budaya : terjadi pada saat budaya diperkenalkan kepada peserta-didik sebagai
cara atau metode untuk mempelajari suatu konsep tertentu. Belajar dengan budaya
meliputi pemanfaatan beragam hal yang inheren di dalam karya budaya : menjadi
media pembelajaran dalam proses belajar,menjadi konteks dari contoh-contoh
tentang konsep atau prinsip dalam suatu mata pelajaran, serta menjadi konteks
penerapan prinsip atau prosedur dalam suatu mata pelajaran.
3) Pendidikan
melalui budaya : merupakan strategi yang memberikan kesempatan kepada
peserta-didik untuk menunjukkan pencapaian pemahaman atau makna yang
diciptakannya dalam suatu mata pelajaran melalui beragam perwujudan budaya
tertentu yang dipilih. ”Produk-produk” budaya yang diwujudkan peserta-didik,
misalnya saja poster, karangan, lukisan ,lagu, ataupun puisi, dapat
diperhitungkan untuk melihat seberapa jauh peserta-didik memperoleh pemahaman
proses tertentu dan seberapa besar kreativitasnya dalam rangka pencapaian
kompetensi tertentu.
Secara garis besar
unsur-unsur budaya yang diajarkan/dikembangkan/diimplementasikan dalam kurikulum pendidikan berbasis budaya dapat dikelompokkan sebagai
berikut :
1.Nilai luhur :
a. Nilai
Spiritual
- Nilai Personal Moral
- Nilai Sosial
- Nilai Nasionalisme Yogyakarta
Nilai-nilai
tersebut terumuskan dalam berbagai ungkapan, di antaranya adalah: hamemayu hayuning bawana, golong gilig,
sawiji, greget,sengguh, ora mingkuh,delapan belas butir nilai luhur yg
tertuang dalam Perda Nomor 5 Tahun 2011.
Nilai luhur budaya bersumber dari : agama, Pancasila,
, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan pengalaman
kehidupan.
- Artefak : berupa karya seni budaya dan karya lain yang sarat dengan nilai-nilai luhur, termasuk di dalamnya arsitektur fisik lokal yang kaya dengan keharmonisan, keindahan, kekokohan (joglo tahan gempa) yang sekaligus mencerminkan aspek-aspek lain dari pranata sosial;
Secara
garis besar artefak dapat dikelompokkan menjadi :
a. Sastra
b. Pertunjukan
(tari, gamelan)
c. Lukis
d. Buana
e. Kriya
f. Arsitektur
g.
Boga
- Adat/kebiasaan dan berbagai perilaku masyarakat di berbagai bidang kehidupan pribadi, kelompok, dan komunitas dalam kondisi kemajemukan yang juga mencerminkan nilai-nilai luhur,sebagai contoh: gotong-royong, kepemimpinan, dan pola asuh.
Secara
umum adat/kebiasaan dapat dikelompokkan menjadi :
a. Sosial-jatidiri
b. Ekonomi-welfare
c. Politik-kekuasaan
BAB IV
KERANGKA IMPLEMENTASI KURIKULUM PENDIDIKAN BERBASIS
BUDAYA
A.
Komplementasi
Kebijakan Nasional
Pengembangan pendidikan berbasis budaya memiliki karakteristik
sebagai berikut ini.
1. Secara
kreatif mendasarkan pada semua
peraturan perundangan nasional yang diperkaya
dengan nilai budaya yang berkembang di DIY. Artinya kompetensi yang ingin dicapai,
pelaksanaan pembelajaran dan manajemennya diperkaya dengan penambahan muatan dan
metode yang digali dari kebudayaan
daerah.
2. Memposisikan
keistimewaan dan kemajemukan DIY yang
kaya dengan nilai-nilai budaya luhur yang telah berabad-abad secara terus-menerus
mengalami akulturasi dan akumulasi secara arif sebagai acuan dalam pengembangan
dan implementasi pendidikan berbasis budaya.
3. Kesuksesan
implementasi pendidikan berbasis budaya memerlukan sinergi dari semua pemangku
kepentingan pembangunan pendidikan DIY, instansi pemerintah, organisasi
masyarakat, dan dunia usaha, dari tingkat provinsi, kabupaten/kota sampai di
tingkat satuan pendidikan.
4. Implementasi
kurikulum pendidikan berbasis budaya dilaksanakan melalui hal-hal berikut ini.
a. Pendekatan
tematik-integratif sesuai dengan kebijakan nasional pada Kurikulum 2013.
b. Pendekatan
induktif-konstruktif yang berbasis pengalaman sesuai dengan konsep Trikon.
c. Internalisasi
nilai-nilai luhur budaya kepada peserta didik, termasuk yang kerkandung dalam
produk-produk kebudayaan ( artefak, adat-istiadat).
d. Pemberian
rekognisi, pengakuan,dan penghargaan secara konsisten terhadap prestasi serta
pemberian sanksi terhadap pelanggaran.
e. Menghidupkan
budaya pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya dan visi/misi
satuan pendidikan.
5. Sebagai
lingkungan pendidikan, setiap satuan pendidikan formal/nonformal/informal dan
penyelenggara pendidikan (dinas/yayasan) hendaknya melakukan hal-hal berikut
ini.
a. Menumbuhkan
suasana yang sarat dengan muatan nilai-nilai luhur budaya.
b. Menyediakan
sarana-prasarana yang terkait dengan kebutuhan pendidikan tentang budaya dengan
pendekatan pembudayaan.
c. Menerapkan
manjemen pengembangan dengan strategi budaya.
B.
Tingkat
Kedalaman Implementasi Kurikulum Berbasis Budaya
Nilai luhur budaya sebagai isi atau muatan dalam
pendidikan berbasis budaya dalam implementasinya memperhatikan tingkat
kompetensi yang akan dicapai berikut ini.
1.
Mengenal, yaitu kegiatan mengenali berbagai unsur
budaya khas Yogyakarta melalui membaca, mendengar, dan mengamati.
2. Mengapresiasi,
yaitu kegiatan menerima, menilai, dan
menghargai budaya khas Yogyakarta.
3. Internalisasi,
yaitu penghayatan, pendalaman, dan penguasaan secara mendalam yang berlangsung
melalui pembinaan dan bimbingan terhadap budaya khas Yogyakarta.
4. Aktualisasi-aktif,
yaitu melakukan kegiatan pengamalan nilai-nilai luhur budaya khas Yogyakarta
dengan penuh kesadaran diri dan patisipasi aktif dalam kegiatan kebudayaan.
5. Kreatif,
yaitu berdaya cipta dalam pelestarian dan pengembangan budaya khas Yogyakarta
sesuai dengan idealisme dan kebutuhan masyarakat.
C.
Pola
Implementasi Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya
Implementasi kurikulum pendidikan berbasis budaya
dapat dilakukan dengan berbagai pola berikut ini.
1.
Terintegrasi ke dalam setiap mata pelajaran.
2. Pengembangan
diri dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler.
3. Monolitik, yaitu sebagai materi ajar tersendiri.
4. Pengembangan
budaya satuan pendidikan berbasis budaya khas Yogyakarta dalam bentuk perilaku
sehari-hari secara individual dan
organisasional.
D.
Tahapan
Kedalaman Materi
Kedalaman penyampaian materi dalam kurikulum
pendidikan berbasis budaya harus memperhatikan tahap perkembangan kejiwaan
peserta didik, yakni dimulai dari yang mudah/sederhana , mudah, agak sukar,
hingga yang sukar/rumit, yang secara visual dapat dilihat pada gambar berikut ini.
E.
Penilaian
Penilaian dalam kurikulum pendidikan berbasis budaya dilakukan secara integral dalam proses
pembelajaran yang mendidik. Pendekatan autentik sangat diperlukan dalam
penilaian program-program pendidikan berbasis budaya, dan dalam asesmen kemajuan peserta didik. Penilaian
mengandung keperluan melakukan values clarification, yang melaluinya
peserta didik mendapatkan umpan-balik, penyadaran, dan pencerahan mengenai
berbagai nilai luhur yang perlu menjadi bagian dari dirinya secara intrinsik.
Oleh karena itu, cara dan instrumen yang digunakan dalam penilaian juga membutuhkan pengamatan perilaku sehari-hari di dalam
kelas, di lingkungan satuan pendidikan, di luar satuan pendidikan, dan di lingkungan
masyarakat.
F.
Manajemen
Satuan Pendidikan
Implementasi kurikulum pendidikan berbasis budaya
perlu diselaraskan dengan model manajemen satuan pendidikan. Jika model
manajemen yang digunakan adalah manajemen berbasis sekolah, maka setiap satuan pendidikan memiliki kewenangan untuk memilih
dan mengembangkan nilai-nilai luhur budaya Yogyakarta, serta mengidentifikasi
produk dan aktivitas budaya yang relevan untuk dipakai di dalam pelaksanaan
pendidikan berbasis budaya. Namun demikian, tetap ada core nilai-nilai luhur
budaya Yogyakarta yang berlaku untuk semua satuan pendidikan di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Di samping itu, setiap satuan pendidikan juga wajib menumbuhkan
lingkungan budaya yang sesuai dengan maksud dan tujuan pendidikan berbasis
budaya.
G.
Sinergitas
Multisektoral
PEMANGKU
KEPENTINGAN
|
PERENCANAAN
|
PELAKSANAAN
|
SUPERVISI
|
DINAS DIKPORA DIY
|
Sosialisasi
& workshop
§
Rencana aksi
§
Penunjukan rintisan
§
Pelatihan pengembangan kurikulum & penyusunan
RPP
|
Pendampingan
§
Arahan
§
Dorongan
§
Bantuan sumber daya pendidikan
|
Pengawasan
& pembinaan
§
Monitor keterlaksanaan & kemajuan
§
Penyelesaian masalah
|
Instansi
terkait
§
Dinas Kebudayaan
§
Dinas
Pariwisata
§
Museum
|
Komitmen
bantuan dan dukungan.
Identifikasi & penetapan aspek kebudayaan sesuai dengan
kondisi lapangan
|
Meyakinkan
& membantu pelaksanaan
|
Meningkatkan
keefektifan dan kualitas
|
DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN/KOTA
|
Sosialisasi
& workshop
§
Kebijakan kab/kota
§
Rencana aksi
§
Penunjukan rintisan
§
Pelatihan pengembangan kurikulum & penyusunan
RPP
|
Pendampingan
§
Arahan
§
Dorongan
§
Bantuan sumber daya pendidikan
|
Pengawasan
& pembinaan
§
Monitor keterlaksanaan & kemajuan
§
Penyelesaian masalah
|
Instansi terkait
§
Dinas Kebudayaan
§
Dinas Pariwisata
|
Komitmen
bantuan dan dukungan.
Identifikasi & penetapan aspek kebudayaan sesuai dengan
kondisi lapangan
|
Meyakinkan
& membantu pelaksanaan
|
Meningkatkan
keefektifan dan kualitas
|
|
|
|
|
SATUAN PENDIDIKAN
|
Workshop/pelatihan:
§
RPS berbasis budaya
§
Penetapan dan formulasi kompetensi
§
Penyusunan RPP
§
Penyiapan sarana dan SDM (guru, instruktur,
tutor)
|
Pelaksanaan:
§
Pembudayaan pendidikan ber- basis budaya.
§
Pembelajaran sesuai RPP
o Mapel
o Integratif
o Ekstra/ko-kurikuler
|
Pemantauan
intern dan tindaklanjut:
§
Budaya sekolah yg cocok dg kebutuhan edukasi dan
manajemen
§
Pelaksanaan pembelajaran yg mendidik sesuai RPS
dan RPP
|
Komite
sekolah/ satuan pendidikan
|
Mendukung & mem bantu mempersiap kan RPS/
RPP/SDM/ sarana
|
Membantu
& mengop timalkan pelaksanaan
|
Membantu
mengatasi masalah.
|
MASYARAKAT
|
|
|
|
§
Dewan Pendidikan DIY
§
Dewan Pendidikan kabupaten/kota
|
peran kemitraan:
dukungan, nasehat, mediasi, kontrol
|
||
§
Organisasi Masy dlm kebudayaan, dan kesenian
|
Menyediakan sumber daya: SDM, sarana,
perlengkapan, dana
|
Membantu dan mendukung pemanfaatan sumberdaya pendidikan berbasis budaya.
|
H. Pendekatan Bertahap Berkelanjutan
Mengingat bahwa pada waktu yang sama dimulai
pelaksanaan Kurikulum 2013 dan UU Keistimewaan DIY, yang keduanya menekankan
pentingnya penguatan aspek-aspek sosial-budaya
dan kebudayaan, pengembangan kurikulum pendidikan
berbasis budaya di satu sisi bagus momentumnya, di sisi lain berada pada
konteks lingkungan yang sedang menggulirkan perubahan. Konsekuensinya,
pengembangan kurikulum pendidikan berbasis budaya harus mampu mengantisipasi
arah dan kecepatan perubahan lingkungan kebijakan daerah dan nasional. Untuk
itu, perlu diterapkan pendekatan bertahap berkelanjutan dengan mengutamakan
hal-hal yang memiliki karakteristik sebagai berikut ini.
1. Dapat
mendayagunakan sumber belajar yang sudah tersedia atau mudah diperoleh satuan pendidikan.
2. Tidak
mengganggu upaya peningkatan kualitas pendidikan dan memiliki sifat kondusif-integratif
bagi peningkatan mutu pendidikan.
3. Menampilkan hasil dan dampak nyata sehingga menimbulkan kesan bahwa di satu sisi,
kurikulum pendidikan berbasis budaya itu dapat dilaksanakan dan di sisi lain,
mampu menumbuhkan semangat bagi satuan pendidikan untuk meneruskannya secara
berkelanjutan.
BAB V
PENUTUP
Dengan pengembangan
kurikulum pendidikan berbasis budaya, gagasan luhur untuk melestarikan dan
mengembangan kebudyaan di DIY akan dapat terwujud dan akan memiliki makna besar
dari sudut pandang membangun kedaulatan
dan peradaban bangsa Indonesia. Implementasi kurikulum pendidikan berbasis
budaya memerlukan dukungan dan komitmen dari semua pemangku kepentingan
pendidikan, pemerintah, satuan pendidikan formal-nonformal-informal, dan dari
masyarakat sebagai pelaku kebudayaan, pengguna pendidikan, dan sebagai kancah/konteks terjadinya pendidikan.
GUBERNUR
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,
HAMENGKU BUWANA X
Tidak ada komentar:
Posting Komentar