ASTHA
BRATA
(Delapan
Macam Tindakan)
Pedoman ini diambil dari wasiat Cupu
Manik Astha Gina. Namun dalam ajaran moral ini tidak ada hubungannya dunia
pewayangan dalam episode terjadinya kera “Sugriwa – Subali – Dewi Anjani”
karena kutukan sang ayahanda Resi Gotama, karena ketiga bersaudara ini memperebutkan
mainan super canggih pada masa itu “Cupu Manik Astha Gina”.
Dalam
falsafah Jawa ajaran Astha Brata yang terdapat dalam wasiat Cupu manik Astha
Gina diwujudkan dalam 8 hal. Ini Sesuai dengan arti Astha Brata itu sendiri. Astha berarti delapan, brata berarti tindakan atau laku. Ajaran Astha Brata ini-pun jangan
disamakan dengan ajaran kepemimpinan yang lazim sudah diketahui oleh masyarakat
Jawa yang dilambangkan dengan sifat dan watak delapan dewa (lihat tulisan: Tata nilai Kepemimpinan).
Delapan
tindakan atau laku ini diwujudkan dalam symbol-simbol :
1.
Wanita
2.
Garwa
3.
Wisma
4.
Turangga
5.
Curiga
6.
Kukila
7.
Waranggana
8.
Pradangga
Adapun urainnya
sebagai berikut:
1.
Wanita, merupakan jarwa dhosok dari “wanodya kang puspita”, (wanita yang
cantik jelita). Wanita yang cantik jelita merupakan symbol symbol keindahan
yang tiada tara. Keindahan dan kecantikan ini tidak hanya tersirat pada bentuk luarnya
atau fisik saja, tetapi juga hati dan budinya, dalam pepatah Jawa disebebut “Lahang karoban manis” , lahang = air gula, karoban manis = ditambahi gula yang rasanya manis. Pepatah ini
bermakna cantik luar dalam. Keindahan
dan kecantikan dari wanita yang sempurna adalah simbol cita-cita manusia. Setiap orang yang bercita-cita luhur diibaratkan
seperti seorang laki-laki yang ingin memiliki wanita yang cantik jelita untuk
dijadikan istrinya. Dengan memiliki cita-cita yang tinggi, berarti kita harus
berusaha sekuat tenaga untuk belajar, bekerja dan berusaha, tanpa kenal lelah
dan pantang menyerah, “Sirah-sirah
dienggo sikil, sikil-sikil dienggo sirah, ora rina ora wengi” demikian
orang Jawa menyebutnya. Wanodya kang
puspita disebut dengan juwita, (dalam
bahasa Kawi berarti putri) yang
merupakan jarwa dhosok dari “ sarju wani ing tata”, sarju = mau/setuju, wani ing tata = mau/ berani untuk tunduk pada aturan. Bukanlah ada
nasehat bahwasanya : kerusakan suatu kaum atau Negara karena wanita, “Jika wanitanya baik,selalu mentaati aturan
dan norma-norma yang ada maka negara tersebut akan baik pula”
2. Garwa,
merupakan jarwa dhosok dari “sigaraning
nyawa, belahan jiwa” . Setiap suami merupakan belahan jiwa istrinya, dam
setiap istri adalah belahan jiwa dari suaminya. Suami istri adalah satu jiwa
dalam dua badan atau raga. Dengan dasar pandangan ini maka garwa dipakai sebagai symbol agar setiap manusia hendaknya dapat
bersatu dengan lingkungannya, saudaranya atau masyarakatnya dengan semboyan “abot entheng dipikul bebarengan”. Semua
orang hendaknya dianggap sebagai kawan hidup yang senasib sepenanggungan, dan
hidup bermasyarakat dengan rukun dan damai saling kasih mengasihi seperti
halnya sepasang suami istri yang sering diungkapkan “rukun kaya mimi lan mintuna, nganti tekan kaki-kaki lan nini-nini”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar