TATA
NILAI KEMASYARAKATAN
Masyarakat (bebrayan
agung) dipahami sebagai suatu keluarga tetapi keluarga yang besar. Landasan
utama suatu keluarga ialah kasih sayang (sih
kinasihan; asih ing sesami) di antara
para anggotanya. Hidup
bermasyarakat haruslah dilandasi
oleh kasih sayang dengan
mewujudkan dan senantiasa
menjaga kerukunan. Kerukunan merupakan
tiang utama kehidupan kemasyarakatan, karena kerukunan memberikan
kekuatan, sedangkan pertikaian mendatangkan kehancuran (rukun agawé santosa, crah agawé bubrah). Apabila timbul persoalan
di antara anggota masyarakat, maka harus diselesaikan sebaik-baiknya dengan
bermusyawarah secara kekeluargaan (ana
rembug ya dirembug), karena masyarakat itu sejatinya merupakan suatu
keluarga besar.
Seandainya terjadi percikan konflik tidak perlu
dibesar-besarkan (kriwikan dadi
grojogan), karena dapat melibatkan semakin banyak pihak dalam pertikaian
sehingga semakin mengeruhkan permasalahan yang timbul. Suatu perselisihan lebih
baik dihadapi dan diselesaikan sendiri dengan kerendahan hati (nglurug tanpa bala). Dan, apabila
seseorang merasa benar dan memperoleh kemenangan atas suatu penyelesaian
perselisihan, janganlah pihak yang menang itu merendahkan atau menghinakan
pihak yang kalah (menang tanpa ngasoraké).
Bagaimanapun juga, yang kalah itu tetaplah manusia yang harus dijaga harga
dirinya, dijaga martabatnya. Pendek kata, siapa pun dia dan bagaimanapun
posisinya, setiap orang harus tetap dimanusiakan (diuwongké). Dalam hidup bersama, di antara anggota masyarakat
hendaklah saling berbagi ilmu dan pengalaman (asah) agar semakin cerdas mengelola kehidupan, saling mengasihi (asih) agar semakin nyaman menikmati
kehidupan, dan saling membimbing (asuh)
agar semakin matang menjalani
kehidupan. Itulah hidup
bersama yang disemangati
dan dihiasi oleh kemanusiaan. Sesungguhnya keselamatan
dan kesejahteraan manusia itu dapat terwujud bilamana nilai-nilai kemanusiaan
senantiasa terjaga (rahayuning manungsa
dumadi karana kamanungsané).
Hidup bersama dalam masyarakat dituntut adanya
solidaritas atau kesetiakawanan sosial antar
anggota masyarakat, baik
dalam keadaan senang
maupun susah (sabaya mati, sabaya mukti). Satu sama lain harus
tolong-menolong, bantu-membantu, sehingga setiap permasalahan yang timbul dapat
dihadapi dan diselesaikan secara lebih ringan dan memadai. Terlebih lagi, dalam
menangani urusan yang berkaitan dengan kepentingan bersama, antar anggota masyarakat hendaknya
seia-sekata, bekerja sama, bergotong-
royong bahu-membahu (saiyek saéka
kapti) merampungkan urusan
bersama dengan sebaik-baiknya.
Bahkan, demi kepentingan umum, orang janganlah berhitung-hitung akan imbalan
bagi pekerjaan yang dilakukannya (sepi
ing pamrih, ramé ing gawé) karena bekerja demi kepentingan umum itu
merupakan wujud keutamaan tugas yang harus diemban manusia sebagai makhluk
Tuhan dalam rangka memperindah dan menjaga kelestarian dunia (hamemayu
hayuning bawana), agar
dunia senantiasa dapat
memberi perasaan aman dan damai (ayom ayem) bagi penghuninya.
Untuk menjaga kohesi dan harmoni kehidupan sosial,
hubungan antar anggota masyarakat dilandasi oleh prinsip hormat. Penghormatan
ini pertama-tama diberikan kepada kedua orang tua (ingkang dingin rama ibu), mertua lelaki dan perempuan (kaping
kalih maratuwa lanang wadon), saudara tua (kaping
katri marang sadulur tuwa), guru (kaping
paté mring guru sayekti), kepada pemimpin atau atasan (kaping lima marang gustinira). Secara umum, yang muda harus
menghormati yang tua atau yang dituakan. Sebaliknya, yang tua atau yang
dituakan wajib menghargai, melindungi, membimbing, dan menyayangi yang muda.
Prinsip hormat ini dijalankan agar tiap orang bersedia memanusiakan orang lain
dan dari lain pihak dirinya juga merasa dimanusiakan oleh orang lain (nguwongké lan diuwongké). Pararel
dengan prinsip memanusiakan orang itu ialah prinsip empati dan timbal-balik (tepa salira), suatu prinsip yang
menempatkan diri sendiri pada diri orang lain sehingga orang akan berhati-hati
dan bertindak adil kepada orang lain karena dalam diri orang lain itu
bersemayam pula dirinya yang akan ikut merasakan akibat tindakannya. Dengan
demikian, setiap orang tidak merasa terasing dan senantiasa menjadi bagian tak
terpisahkan dari orang lain dalam masyarakatnya.
Prinsip hormat yang lebih bersifat batiniah itu
diekspresikan secara lahiriah dalam wujud sopan
santun (tata krama; unggah-ungguh). Sopan
santun itu menjauhkan
orang dari celaan (tata krama iku ngadohaké ing panyendhu).
Dalam pergaulan orang harus pandai mengemas dirinya dengan bahasa, busana, dan
gerak-gerik anggota tubuh secara santun dan sedapat mungkin menyenangkan hati
orang di sekitarnya. Agar dapat membawa diri dengan tepat dalam pergaulan,
orang harus pula dengan cermat menyesuaikan ketiga kemasan tadi dengan waktu,
tempat, dan konteks (angon mangsa, empan
papan, duga prayoga). Dasar terdalam dari semua itu ialah sikap batin yang
harus dijaga bahwa menghormat itu bukanlah wujud kerendahdirian melainkan wujud
kerendahatian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar