Siapakah
Ndoro Purbo?
Sekelompok orang dengan wajah bercadar merusak makam Raden
Bekel Kyai Ageng Prawiropurbo, lalu siapakah Kyai Ageng Prawiropurbo?,
antara tahun 1905-1933 nama Ndoro Purbo amatlah terkenal di kalangan masyarakat
Yogya, dia juga menjadi semacam pseudo atas kekuasaan raja Mataram di hadapan rakyatnya,
bila secara resmi pamannya adalah Sri Sultan Hamengkubuwono VII, tapi di
jalan-jalan Yogya nama Ndoro Purbo seperti nyawa dari kehidupan keseharian
rakyat Yogya.
Ki Ageng Prawiropurbo atau lebih dikenal Ndoro Purbo, adalah
bangsawan tinggi Yogyakarta, ia cucu dari Sri Sultan Hamengkubuwono VI,
ia mengalami banyak musibah dalam hidupnya, isteri yang dicintai meninggal,
anaknya sakit-sakitan, semasa muda sebelum menikah ia juga sering sakit,
sakitnya itu kemudian sembuh ketika ia mengenal perempuan yang kemudian
dijadikan isterinya, rasa sayang tumbuh, ia mencintai isterinya dengan sangat,
anak-anak lahir dan sebagai lelaki ia merasa sudah sempurna. Tapi
kebahagiaan itu tak lama berlangsung, berturut-turut musibah datang, isterinya
yang dicintai meninggal, anaknya sakit-sakitan dan ia tersiksa juga
melihat kehidupan bermewah-mewah baik di kalangan Keraton dan ia gelisah
melihat kemiskinan di kalangan rakyat, kegelisahannuya ini kemudian membawa dia
ke dalam pencarian spiritual.
“Kegilaan kerap menimpa para Sufi” itulah yang kerap
kita lihat dalam kehidupan manusia yang secara total sudah masuk ke dalam alam
Tuhan. Kehidupan manusia yang sudah baku, yang sudah mapan, yang sudah
terpenjara oleh aturan-aturan tak bisa menembus teka-teki ruang Tuhan yang melingkupi
alam manusia, kejadian dunia ini hanya dilihat sebatas perasaan dan harafiah,
tapi tidak bisa menembus batasan waktu. Ndoro Purbo dalam perjalanan
spiritualnya mengalami ‘kegilaan’ yang dipahami oleh orang awam. Ia hidup
menggelandang dari satu tempat ke tempat yang lain, ia mencari kebenaran dalam
ruang paling sunyinya.
Hingga satu malam ketika ia tertidur di pasar ia bermimpi
tentang pengajaran hidup “Bahwa untung dan rugi manusia jangan sampai
menghancurkan kebahagiaan hidup” Kehidupan manusia selalu saja
mengejar keuntungan, waktunya hilang oleh nafsu karena mengejar materi, Ndoro
Purbo lewat bimbingan Tuhan yang hidup dalam jiwanya mengajak manusia tidak
usah hidup ke dalam alam perbudakan materi, jiwa harus dilepaskan dari
penjara-penjara materi, kebahagiaan terbesar manusia adalah ketika ia bertemu
Tuhan dalam “bahasa-bahasa kemanusiaan”.
Perjalanan hidup Ndoro Purbo amat berat, ia harus
menggelandang dan menjadi gembel untuk memberikan pencerahan kepada manusia. Di
Yogya Ndoro Purbo kerap berkeliaran di seputar pasar Yogya. Suatu saat Ndoro
Purbo berjalan ke Kotagede, ia duduk di Sargedhe, (Pasar Gede Kotagede), ia
duduk bersila lama di dekat orang jual arang. Tiba-tiba ia berdiri dan menepuk
seseorang, lalu dia meludah pada orang itu, orang yang berjalan marah luar
biasa karena tanpa sebab wajahnya diludahi, orang itu lantas mau ngampleng
Ndoro Purbo, tiba-tiba beberapa ibu-ibu bakul sayur, mencegah orang yang mau
ngampleng ke Ndoro Purbo “Jangan…jangan itu Ndoro Purbo” Orang itu melihat Ndoro
Purbo mengacungkan jari telunjuknya ke atas lalu Ndoro Purbo berteriak
“Siji…Siji (satu…satu)” . Beberapa hari kemudian orang yang diludahi ndoro
Purbo pulang ke rumahnya yang ada di Sopingen, Kotagede melihat ibunya
tiba-tiba sembuh dari sakit, padahal dia berjalan-jalan ke pasar sedang
memikirkan sakit ibunya, bisnis penggergajian kayunya maju pesat, ia juga
ditawari sebuah rumah oleh orang Belanda yang akan pulang ke negeri Belanda,
gratis asal dirawat, rumah itu ada di Magelang.
Keberuntungan ini berlangsung hanya satu tahun, lalu dia
mendapatkan musibah lagi, hidupnya labil ekonomi tidak seperti di masa setahun
sebelumnya. Lalu ketika ia sedang berjalan-jalan ke tepi sungai Gajah Wong, ia
sedang melihat Ndoro Purbo menunjuk-nunjuk arah masjid, ia tersadar ternyata
selama keberuntungannya itu berjalan ia lupa sholat. Sejak itu orang itu sholat
dan mendapatkan pencerahan, bahwa kerugian dan keberuntungan hanyalah romantika
kehidupan janganlah ini dibuat agar “manusia melupakan Tuhan”.
Ndoro Purbo senang keluyuran di jalan malam-malam, seluruh
orang Yogyakarta mengenal Ndoro Purbo, suatu siang Ndoro Purbo mendatangi
tukang dawet (cendol) dia lantas mengobok-obok dawet dengan tangannya. Ndoro
Purbo kemudian menempelkan tangannya ke dahi tukang dawet. Tak lama dawetnya
laku keras dan jadi dawet paling laris di Yogya, anaknya tukang dawet juga
menjadi dokter berkat jualan dawetnya.
Bagi orang Jawa, dunia tidak melulu dilihat dari situasi wadag-nya,
tapi dari situasi yang tidak kelihatan, situasi yang disebut sebagai “Rasa”.
Ilmu dari Ndoro Purbo adalah Ilmu Merasai, Kontemplasi kegilaannya adalah
“Ruang Bicara antara Kemanusiaannya dengan Tuhan”. Ndoro Purbo memberikan
pencerahan bahwa kehidupan yang kita jalani jangan dijudge, dicap, dilabeli ini
itu, tapi jalani dengan ikhlas.
Ndoro Purbo wafat tahun 1933, seluruh rakyat Yogyakarta
berduka pada hari pemakamannya ratusan ribu orang Yogya mengantarkan jenasah
Ndoro Purbo ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
Makam bagi orang Jawa adalah sesuatu yang sakral, makam
bukan tempat pemujaan tapi makam adalah tempat mengenang adanya hubungan masa
kini dan masa lalu, bahwa kehidupan manusia diikatkan pada keterkaitan waktu.
Dirusaknya makam Ndoro Purbo di Yogyakarta adalah penghinaan terbesar bagi
orang Jawa, apalagi makam itu adalah orang yang paling dihormati oleh orang
Jawa utamanya subkultur Mataraman.
-Anton DH
Nugrahanto-.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar