TATA NILAI PENATAAN RUANG DAN
ARSITEKTUR
Secara historis dan filosofis, nilai-nilai dasar
penataan ruang Yogyakarta telah diletakkan dan disusun oleh Sultan Hamengku
Buwono I dan dilanjutkan oleh para penerusnya. Pemilihan lokasi topografis
keraton (baik sebagai pusat spiritual, kekuasaan, maupun budaya), penentuan wujud
dan penamaan sosok bangunan hingga detail ornamen dan pewarnaannya, tata
letak dan tata
rakit bangunan, penentuan
dan penamaan ruang terbuka, pembuatan dan penamaan jalan,
bahkan hingga penentuan jenis dan nama tanaman,
kesemuanya itu secara
simbolis-filosofis
melambangkan nilai-nilai perjalanan hidup manusia dan keharmonisan
hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, dan manusia
dengan alam.
Perjalanan hidup manusia dilambangkan dalam tata
rakit bangunan dan tanaman dalam alur garis simbolis-filosofis dari Panggung
Krapyak ke utara hingga Kompleks Kraton sektor selatan. Lambang itu
menggambarkan perjalanan hidup manusia sejak lahir dari rahim ibunya (Panggung
Krapyak sebagai lambang “Yoni”, representasi gender perempuan) dan benih manusia
(wiji; dilambangkan dengan
nama Kampung Mijen
di sebelah utara Panggung Krapyak),
kemudian memasuki masa
remaja (enom; sinom;
dilambangkan dengan pucuk daun asam jawa) yang senantiasa menyenangkan
hati (nyengsemaken; dilambangkan dengan jajaran tanaman pohon asam jawa) dan
penuh sanjungan (dilambangkan dengan jajaran tanaman pohon tanjung). Setelah
melewati masa remaja, manusia memasuki kedewasaan yang ditandai dengan akil
baligh (dilambangkan dengan tanaman pohon pakel) dan keberanian (wani;
dilambangkan dengan tanaman pohon kweni) untuk meraih peluang dan menjangkau
jauh ke masa depan, melesat laksana anak panah yang lepas dari busurnya
(dilambangkan dengan tanaman ringin kurung di Alun-Alun Kidul yang dikelilingi
pagar berbentuk busur).
Setelah melewati masa remaja dan memasuki
kedewasaan, sampailah kehidupan manusia pada
tahap saling menyukai
lawan jenis, yang
kemudian dilanjutkan ke
jenjang perkawinan. Konsekuensi perkawinan ialah bercampurnya “darah”
lelaki (dilambangkan dengan tanaman pohon mangga cempora yang berbunga putih di
Sitihinggil Kidul) dan “darah” perempuan (dilambangkan dengan tanaman soka yang
berbunga merah). Percampuran darah lelaki dan perempuan itu dilandasi kemauan
bersama (gelem; dilambangkan dengan pohon pelem atau mangga di halaman
Kamandhungan Kidul). Dengan didasari kemauan dan cinta kasih di antara
keduanya, mengucur deraslah “benih” atau
sperma menjumpai “telor”
atau ovum (kaderesan
sihing sesama; dilambangkan dengan tanaman jambu dersana),
sehingga menggumpallah kedua unsur itu (kempel; dilambangkan dengan tanaman
pohon kepel) menjadi bakal bayi (embrio). Bayi itu kelak akan lahir sebagai
calon (magang; dilambangkan dengan Kemagangan) manusia dewasa.
Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, pada akhirnya
manusia juga akan kembali kepada penciptanya. Garis simbolis-filosofis dari
Tugu Golong-Gilig atau Tugu Pal Putih hingga Kraton melambangkan perjalanan
manusia menghadap Sang Khalik. Dalam menempuh perjalanan kembali kepada Sang
Khalik, manusia harus memulainya dengan tekad bulat menyatukan (golong-gilig;
dilambangkan dengan Tugu Golong-Gilig) segenap kemampuan cipta, rasa, dan karsa
untuk menyucikan hati (dilambangkan dengan cat warna putih pada Tugu
Golong-Gilig tersebut sehingga tugu itu sering juga disebut sebagai Tugu Pal
Putih). Tekad menyucikan diri
itu harus melalui
jalan keutamaan (dilambangkan dengan Margatama, nama jalan dari tugu ke
selatan sampai kawasan Stasiun Kereta Api Tugu; sekarang bernama Jalan Pangeran
Mangkubumi) dengan berbekal penerangan (obor; dilambangkan dengan nama jalan
Malioboro) berupa ajaran para wali, lalu ditempuhlah jalan kemuliaan (mulya;
dilambangkan dengan Margamulya, dahulu nama jalan yang menghubungkan Malioboro
dengan Alun-Alun Utara). Dalam menempuh perjalanan itu, diharapkan manusia
dapat melewatinya dengan perasaan senang (sengsem; dilambangkan dengan tanaman
wit asem atau pohon asam jawa) dan teduh hatinya (ayom; dilambangkan dengan
tanaman pohon gayam yang dahulu ditanam di sepanjang
jalan Margatama - Maliabara -
Margamulya).
Kemuliaan itu harus dimantabkan dengan pengusiran
segenap hawa nafsu dan perangai buruk (urakan; dilambangkan dengan Pangurakan).
Memang tidak mudah jalan menuju Sang Khalik, laksana mengarungi samudera dengan
deburan ombak yang dahsyat (alun; dilambangkan dengan Alun-Alun Lor). Setelah
perjalanan hidup berakhir, manusia tidak serta merta langsung dapat bertemu
dengan Sang Khalik, melainkan harus dengan sabar menanti (nganti-anti;
dilambangkan dengan bangunan Bangsal Sri Manganti) di alam kubur menunggu
giliran untuk ditimbang atau diteraju terlebih dahulu amal baik dan buruknya
(ditraju; dilambangkan dengan bangunan Bangsal Trajumas) selama menjalani hidup
di dunia, untuk kemudian memasuki kehidupan kekal di alam kelanggengan
(dilambangkan dengan lampu Kyai Wiji yang berada di Gedhong Prabayaksa, lampu
yang senantiasa hidup sejak pemerintahan Sultan Hamengku Bowono I hingga
sekarang). Dengan demikian, tata rakit bangunan, jalan, beserta tanaman dari
Panggung Krapyak ke Kraton melambangkan asal mula dan tahap-tahap kehidupan
manusia, sedangkan tata rakit dari Tugu Pal Putih atau Tugu Golong-Gilig ke
Kraton melambangkan jalan dan tahap-tahap kembalinya manusia kepada Sang Khalik
(sangkan paraning dumadi).
Kraton sebagai tempat tinggal Sultan merupakan
pusat kekuasaan politik dan kebudayaan dengan landasan religiositas
(disimbolkan ketika Sultan duduk bersamadi di singgasana Bangsal Manguntur
Tangkil di Sitihinggil Utara; pandangannya lurus ke utara menatap Tugu Golong-Gilig dan puncak Gunung Merapi). Sultan
sebagai multi pemimpin, baik
dalam bidang politik kenegaraan,
kemasyarakatan, kebudayaan, maupun
keagamaan (Sayidin Panatagama,
Kalipatolah Ing Tanah Jawa) harus menyediakan ruang publik bagi aktivitas
rakyatnya, baik yang bersifat spiritual-keagamaan (disimbolkan dan berwujud
bangunan Mesjid Gedhé di sebelah barat Alun-Alun Utara), sosio-budaya
(disimbolkan dan berwujud Alun-Alun), dan perekonomian (disimbolkan dan
berwujud Pasar Beringharjo). Bangunan kraton, masjid besar, alun-alun, dan
pasar merupakan pengejawantahan konsep Caturgatra Tunggal, yakni konsep yang
menyinergikan empat anasir secara harmonis bagi kesejahteraan kehidupan
masyarakat, baik kesejahteraan lahiriah maupun batiniah.
Simbolisasi hubungan sinergis manusia dengan alam
pertama-tama tampak pada pemilihan atas lokasi Negari Ngayogyakarta Hadiningrat
yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku
Buwono I. Posisi geografis Yogyakarta diapit oleh enam sungai dalam formasi
tiga lingkar sungai. Lingkar pertama ialah Kali Code di sebelah timur dan Kali
Winanga di sebelah barat. Lingkar kedua terdapat Kali Gajahwong di sebelah
timur dan Kali Bedog di sebelah barat. Sedangkan lingkar ketiga ialah Kali Opak
di sebelah timur dan Kali Progo di sebelah barat. Secara matematis, formasi itu
menggambarkan bangun siklis-konsentris. Dalam bangun matematis seperti itu,
kraton merupakan pusatnya (konsentris) dan pasangan sungai-sungai tadi menjadi
lingkarannya (siklis). Di samping formasi siklis-konsentris, tata rakit
keruangan Yogyakarta juga memiliki formasi
linier, yang tampak
dalam “garis lurus”
simbolis-filosofis berupa jajaran
letak Gunung Merapi - Tugu Golong-Gilig - Kraton - Panggung Krapyak - Laut Selatan. Dalam
rangkaian lima “titik” itu, tiga titik merupakan poros utama, yakni Gunung
Merapi – Kraton – Laut Selatan. Tiga titik sederet ini bersesuaian dengan
konsep “Tri Hita Karana” dan “Tri Angga” (parahyangan – pawongan – palemahan;
hulu – tengah - hilir). Ketiganya juga melambangkan anasir api (Merapi), tanah
(bumi Kraton), udara (angkasa Kraton), dan air (Laut Selatan) sebagai 4 anasir
fisis utama pembentuk dunia dalam kosmogoni Jawa. Dalam bidang biologis,
dipesankan nilai-nilai kesuburan, yakni berpadunya alat kelamin perempuan
(yoni; disimbolkan dengan bangunan Panggung Krapyak) dan alat kelamin laki-
laki (lingga; disimbolkan dengan
bangunan Tugu Golong-Gilig atau Tugu Pal Putih). Baik dalam formasi siklis-konsentris
maupun linier, nilai yang hendak disampaikan ialah bahwa dalam kehidupan
hendaklah dibangun dan dijaga sinergi dan harmoni antara manusia dan alam,
yakni hubungan manusia dengan benda-benda tak hidup, tanaman, dan binatang.
Nilai-nilai yang dipesankan secara simbolik dalam
seluruh tata rakit keruangan yang telah dirintis Sultan Hamengku Buwono I dan
para penerusnya itu pada dasarnya, pertama, mengingatkan manusia
agar senantiasa sadar
diri (éling) tentang
asal-muasal kehidupannya dan tempat
kembalinya kelak (Sang
Khalik). Dalam konteks
keruangan secara fisik, nilai yang dipesankan ialah bahwa dalam tata
rakit perkotaan atau kawasan, harus senantiasa disediakan ruang publik dan
bangunan yang mencukupi bagi intensitas dan perkembangan komunikasi manusia
dengan Tuhan. Secara lebih umum, tata rakit keruangan harus memungkinkan tumbuh
dan berkembangnya spiritualitas manusia secara wajar.
Kedua, nilai penting yang dipesankan dari
perlambangan tata rakit keruangan Yogyakarta ialah terlaksananya hubungan
antarmanusia secara wajar dan harmonis. Dalam konteks keruangan secara fisik,
penataan atau tata rakit keruangan harus disediakan ruang publik yang mencukupi
sebagai wahana interaksi antara manusia sebagai sarana pengembangan diri
manusia secara manusiawi, baik dalam bidang ekonomi, politik kenegaraan,
sosial, maupun kebudayaan. Dengan perkataan lain, tata rakit atau penataan
ruang harus memungkinkan tumbuh dan berkembangnya sosialitas manusia secara
wajar.
Ketiga,
pesan yang tak
kalah penting dalam
simbolisasi tata rakit
penataan ruang Yogyakarta ialah
tentang nilai-nilai hubungan yang sinergis-harmonis antara manusia dan alam.
Dalam konteks keruangan secara fisik, tata rakit atau penataan ruang harus
dapat menjamin terlaksananya transformasi dan sinergi energi antaranasir alam,
baik yang berupa benda-benda tak-hidup (air, tanah, bebatuan, udara, api,
dsb.), tumbuh-tumbuhan, maupun binatang, sebagai wahana dan sekaligus pendukung
utama bagi kehidupan manusia. Dengan perkataan lain, penataan atau tata rakit
keruangan harus menjunjung tinggi nilai- nilai ekologis dan mematuhi
norma-normanya.
Dalam dunia arsitektur, dua hal utama yang penting
ialah citra dan guna atau fungsi dalam
suatu perencanaan sosok bangunan. Suatu sosok bangunan harus mampu menampilkan
citranya sebagai bangunan dengan identitas nilai atau jatidiri tertentu dan
fungsi yang harus diembannya. Kraton sebagai pusat budaya telah memberi teladan
bahwa setiap bangunan senantiasa menggambarkan citra tertentu dengan muatan
identitas nilai yang dikandung dan dipesankannya; dan fungsi yang melekat pada
sosok bangunan sebagai wahana kegiatan manusiawi. Komponen bentuk atau
struktur, besaran, warna, dan material yang dipakai dalam suatu bangunan harus
bersinergi dan harmonis satu sama lain sehingga mencitrakan identitas
nilai-nilai kejawaan yang dikehendaki dan memenuhi fungsi wahana kegiatan
manusiawi. Secara garis besar, citra kejawaan yang ditampilkan melambangkan
nilai-nilai kesakralan (teologis), kesusilaan (etis), kesopansantunan
(etiketis), dan keindahan (estetis). Tiap-tiap bangunan menyandang citra
utamanya masing-masing, meskipun acapkali suatu bangunan menyandang sejumlah
citra sekaligus. Citra dan fungsi harus sinergis dan selaras. Konsekuensinya,
di satu pihak citra harus dapat memenuhi dan menggambarkan fungsi dan di lain
pihak fungsi harus sesuai dengan citra.
Keharmonisan suatu bangunan bukan saja ditentukan
oleh komponennya, melainkan juga ditentukan oleh tata letak atau posisi dan
rangkaian tiap-tiap bangunan sehingga tercipta komposisi dan konfigurasi
antarbangunan yang selaras, serasi, dan seimbang. Suatu dominasi, apalagi
kontras antarbangunan dalam suatu kawasan amat dihindari, karena dominasi atau
kontras itu melambangkan disharmoni. Di samping itu, kegiatan manusiawi harus
terjamin pelaksanaanya secara wajar dan layak oleh fungsi-fungsi yang diberikan
oleh suatu bangunan.
Oleh karena itu,
suatu bangunan --
rumah misalnya, bagi penghuninya harus layak sebagai ruang
tinggal pribadi (longkangan), sebagai tempat kenyamanan dan kesehatan fisik
beserta pemenuhan kebutuhan keseharian (panggonan), sebagai simbol ekspresi
diri dan tempat interaksi sosio-budaya (palungguhan), dan sebagai tempat
berkontemplasi atau berkomunikasi dengan Tuhan (panepèn).
Untuk mewujudkan tata nilai arsitektur di wilayah
Daerah Istimewa Yogyakarta perlu disiapkan peraturan perundang-undangan yang
mengatur Arahan Persyaratan Pola Arsitektur di Kawasan Cagar Budaya dan di luar
Kawasan Cagar Budaya. Di Kawasan Cagar Budaya terdiri atas tiga mintakat utama,
yaitu mintakat inti, mintakat penyangga, dan mintakat pengembangan.
Implementasinya diharapkan bangunan
baru yang berada
dimintakat inti disyaratkan menggunakan rancangan pola lestari asli atau
pola selaras sosok, bangunan baru yang berada di mintakat penyangga disyaratkan
minimal menggunakan rancangan pola selaras sosok, dan bangunan baru yang berada
di mintakat pengembangan disyaratkan menggunakan rancangan pola selaras parsial.
Sementara itu, bangunan baru yang berada di luar Kawasan Cagar Budaya
disyaratkan minimal menggunakan rancangan pola selaras parsial. Pengendalian
arahan persyaratan selanjutnya dikoordinasikan dengan Pemerintah Kabupaten/Kota
di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan diatur dalam peraturan
perundangan lain.
Arsitektur
bangunan Yogyakarta mengandung
unsur identitas sebagai
ciri yang membedakan dengan
arsitektur daerah lain. Kekhasan arsitektur diwujudkan dalam bentuk, ornamen,
dan pembagian keruangan bangunan. Wujud bentuk bangunan seperti joglo, limasan, panggangpe, kampung dan lain
sebagainya. Ornamen bangunan dicirikan dengan pemakaian berbagai hiasan
dibagian atap dan lain sebagainya. Pembagian keruangan bangunan dicirikan dengan
adanya fungsi bangunan sebagai ruang tinggal pribadi, tempat yang nyaman dan
sehat, simbol ekspresi dan interaksi sosial, serta tempat berkontemplasi atau
berkomunikasi dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar