WARISAN
BUDAYA DAN LINGKUNGAN HIDUP DI YOGYAKARTA
(Tugu Yogyakarta tahun 1928)
Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengku Buwono I)
sebagai seorang arsitek, negarawan dan budayawan sejati pada saat menentukan
letak Karaton Yogyakarta sangat memegang teguh nilai historis maupun
filosofis-religius yang sangat dipercaya akan berpengaruh terhadap sikap
perilaku dirinya sebagai raja sampai pada para kawulanya.
Dari sisi topografi, pemilihan
letak Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai inti kota
Yogyakarta sangat menguntungkan. Letak kota di tanah datar dengan kemiringan 0
- 2 % ke arah selatan, di antara enam sungai yang mengapit secara simetris
yaitu sungai Code dan Winanga di ring pertama, sungai Gajahwong dan kali Bedog
di ring kedua serta sungai Opak dan sungai Progo di ring ketiga sangat
menguntungkan bagi usaha pertanian, mempercepat peresapan air hujan dan sangat
menguntungkan bagi pembuatan drainase kota. Tanah yang subur karena dekat dengan
ginung Merapi dan
rakyat tetap tenang
apabila terjadi letusan gunung
Merapi dikarenakan banyaknya rintangan di sebelah selatan gunung Merapi yang
menghalangi banjir lahar yang menuju ke
arah kota Yogyakarta.
Penentuan lokasi Karaton Yogyakarta yang diapit
oleh sungai besar, di sebelah utara ada gunung Merapi dan sebelah selatan ada
laut Selatan ini dapat dianalogikan dengan pemilihan lokasi bangunan suci oleh
orang-orang Hindu. Menurut kitab-kitab suci agama Hindu untuk lokasi bangunan
suci yang berupa candi dipilih tempat yang berbeda dengan alam sekitarnya
karena menampakkan kekuasaan dewa atau keajaiban lainnya. Puncak gunung dan
lereng bukit, daerah kegiatan vulkanik, dataran tinggi yang menjulang di atas
tepi lembah, tepian sungai atau danau, tempat bertemunya dua sungai, adalah
diantaranya daerah yang baik untuk lokasi bangunan suci (Soekmono,1991).
Apabila kita telusuri aliran sungai Progo dan Elo merupakan padanannya sungai
Gangga dan Jamuna di India dan tidak jauh dari tempat itu terletak bangunan
suci kota Bodh Gaya dan stupa Bharhut kalau di indonesia candi Borobudur,
begitu pula Ngayogyakarta yang diapit oleh dua sungai besar, sungai Opak dan
sungai Progo di ring paling luar serta sungai Code dan Winongo di ring yang
paling dalam. Puncak gunung (gunung Meru) menurut mitologi Hindu merupakan tempat
bersemayamnya para dewa
yang di Yogyakarta diwakili Gunung Merapi, dan Laut
Selatan mewakili samudera yang mengelilingi gunung Meru. Gunung sebagai
ketenangan tempat suci, dataran pemukiman sebagai tempat aktifitas kehidupan
manusia dan laut sebagai tempat pembuangan akhir dari segala sisa di bumi yang
hanyut dan dihanyutkan ke laut.
Menurut konsep Kosmogoni yang berpangkal pada
kepercayaan tentang adanya kesejajaran
antara makrokosmos dan
mikrokosmos, antara alam semesta atau jagat raya dengan dunia manusia
termasuk raja dan kerajaannya, dalam skala yang lebih kecil jagang yang
mengelilingi beteng kraton menggambarkan lautan yang mengelilingi gunung Meru,
sedang komplek kraton Yogyakarta yang terletak di pusatnya menggambarkan gunung
Meru, gunung pusat alam semesta yang merupakan istananya Dewa Indra. Oleh sebab
itu gedhong Indrakila dan Ngendrasana di dalam kraton Yogyakarta menggambarkan
istana dewa Indra di puncak gunung Meru. Di lingkungan kraton Yogyakarta ada
dua tempat yang disakralkan yakni Gunung Merapi, terletak di sebelah utara
kraton dan Laut Selatan (samudra
Indonesia) yang dipercayai sebagai istana Kanjeng Ratu Kidul penguasa laut
selatan. Secara kosmologis kraton Yogyakarta menghadap kearah gunung Merapi
(arah utara), akan tetapi agar tidak membelakangi laut selatan yang
disakralkan, maka pada halaman belakang (pungkuran) kraton dibuat menyerupai
halaman depan dengan membuat Alun-Alun Selatan dan Siti Hinggil selatan
meskipun dengan skala yang lebih kecil.
Dengan setting lokasi seperti inilah Pangeran
Mangkubumi menciptakan poros (sumbu) imajiner
Gunung Merapi - Tugu Pal Putih (Tugu Golong-Gilig) - Kraton - Panggung
Krapyak - Laut Selatan. Penciptaan poros imajiner ini selaras dengan konsep Tri
Hita Karana danTri Angga (Parahyangan-Pawongan-Palemahan atau Hulu – Tengah –
Hilir serta nilai Utama – Madya – Nistha
). Secara simbolis filosofis poros imajiner ini melambangkan keselarasan dan
keseimbangan hubungan manusia dengan
Tuhannya (Hablun min Allah) , manusia dengan manusia (Hablun min Annas) maupun
manusia dengan alam termasuk lima anasir pembentuknya yakni api (dahana) dari
gunung Merapi, tanah (bantala) dari bumi Ngayogyakarta dan air (tirta) dari laut Selatan, angin (maruta) dan akasa
(either). Poros imajiner ini juga merupakan symbol dari konsep filosofi Sangkan
Paraning Dumadi dan Manunggaling Kawula Gusti.
Tugu Golong Gilig/Pal Putih dan Panggung Krapyak
merupakan simbol Lingga dan Yoni yang melambangkan kesuburan. Tugu golong gilig
bagian atasnya berbentuk bulatan (golong) dan bagian bawahnya berbentuk
silindris (gilig) dan berwarna putih sehingga disebut juga Pal Putih. Tugu
Golong Gilig ini melambangkan keberadaan Sultan dalam melaksanakan proses
kehidupannya yang dilandasi menyembah secara tulus kepada Tuhan Yang maha Esa
dengan disertai satu tekad menuju kesejahteraan rakyat (golong – gilig) dan
didasari hati yang suci (warna putih). Itulah sebabnya Tugu Golong-Gilig ini
juga sebagai titik pandang utama Sultan pada saat melaksanakan meditasi di
Bangsal Manguntur Tangkil di Sitihinggil Utara. Konsep filosofi hubungan
manusia dengan Tuhan penciptanya (Hablun min Allah) serta hubungan manusia
dengan manusia (Hablun min Annas) serta konsep manunggaling kawula – Gusti ini
dilambangkan dengan keberadaan Masjid Gedhe dan ringin kurung Kyai Dewadaru di
sebelah barat sumbu imajiner dan ringin kurung Kyai Janadaru di sebelah timur
sumbu imajiner.
Adapun filosofi dari Panggung Krapyak ke utara
merupakan perjalanan manusia sejak dilahirkan dari rahim ibu, beranjak dewasa,
menikah sampai melahirkan anak (Brontodiningrat 1978). Visualisasi dari
filosofi ini diujudkan dengan keberadaan kampung Mijen di sebelah utara Panggung
Krapyak yang melambangkan benih manusia, pohon asem dengan daun yang masih muda
bernama sinom melambangkan gadis yang masih anom (muda) selalu nengsemaken
(menarik hati) maka selalu disanjung yang divisualisasikan dengan pohon
tanjung. Di alun – alun selatan
menggambarkan manusia telah dewasa dan sudah wani (berani) meminang gadis
karena sudah akhil baligh yang dilambangkan dengan pohon kweni dan pohon pakel.
Masa muda yang mempunyai jangkauan jauh ke depan divisualisasikan dengan dengan
pagar ringin kurung alun- alun selatan yang seperti busur panah. Masa depan dan
jangkauan para kaum muda dilambangkan panah yang dilepas dari busurnya. Sampai
di Sitihinggil selatan pohon yang ditanam pelem cempora yang berbunga putih dan
pohon Soka yang berbunga merah yang
menggambarkan bercampurnya benih laki-laki (dilambangkan warna putih) dan benih
perempuan (dilambangkan warna merah). Di halaman Kamandhungan menggambarkan
benih dalam kandungan dengan vegetasi pohon pelem yang bermakna gelem (kemauan
bersama), pohon Jambu Dersono ang bermakna kaderesan sihing sasama dan pohon
Kepel yang bermakna kempel, bersatunya benih karena kemauan bersama didasari
saling mengasihi. Melalui Regol Gadhung Mlathi sampailah di Kemagangan yang
bermakna bayi telah lahir dan magang menjadi manusia dewasa.
Sebaliknya dari Tugu Pal Putih ke arah selatan merupakan perjalanan manusia
menghadap Sang Kholiq, meninggalkan Alam Fana menuju Alam Baqa
(Poespodiningrat,1987). Golong-gilig melambangkan bersatunya cipta, rasa dan
karsa dilandasi kesucian hati (warna putih) melalui Margotomo
(jalan menuju keutamaan)
ke selatan melalui Malioboro (memakai obor/pedoman ilmu
yang diajarkan para wali), terus ke selatan melaui Margomulyo (jalan menuju kemuliaan).
Sepanjang jalan Margotomo, Malioboro dan Margomulyo ditanam pohon Asem yang
bermakna sengsem/menarik dan pohon gayam yang bermakna ayom/teduh. Setelah
melalui Pangurakan (mengusir nafsu yang
negatip) sampai di alun-alun utara yang menggambarkan kehidupan manusia yang
ingin menghadap penciptanya laksana orang naik perahu yang diterjang ombak
(alun). Sampai di pelataran Sri Manganti ibarat manusia di alam Barzah. Bangsal
Trajumas ( Traju = timbangan, Mas = logam mulia), di sini manusia ditimbang
amal baik dan amal buruknya sebelum menuju ke tujuan akhir yakni Alam Baqa
(alam abadi) yang dilambangkan dengan lampu Kyai Wiji (lampu yang tidak pernah
padam sejak Sri Sultan Hamengku
Buwono I hingga
sekarang) di Gedhong
Prabayaksa (bangunan yang disakralkan di kraton Yogyakarta).
Bagian
dari Karaton Yogyakarta
yang lain yang
tidak kalah pentingnya dan masih
di dalam beteng (baluwarti) kraton adalah Pesanggrahan Taman
Sari, atau yang
lebih terkenal dengan
sebutan Istana Air ( Water Kasteel ) Taman Sari. Pesanggrahan Taman Sari
ini tidak hanya sekedar sebagai tempat
bercengkerama dengan adanya kolam pemandian , pulau dan danau buatan, tempat
peristirahatan dan tempat kontemplasi, tetapi lebih jauh dari itu Taman Sari
pada hakekatnya mempunyai arti lain yang berdasarkan pada pertahanan. Hal ini
dapat dibuktikan dengan adanya bangunan lorong bawah tanah yang cukup
banyak, adanya bangunan
pulau Cemethi (bangunan
bertingkat tinggi yang
memungkinkan orang dapat melihat ke seluruh bagian kota), jembatan gantung dan
sebaginya. Ada kemungkinan pembuatan Pesanggrahan Taman Sari oleh Sultan
Hamengku Buwono I ini diilhami oleh runtuhnya pertahanan Karaton Kartasura pada
saat Geger Pacina (1740 - 1743) karena tidak mempunyai pertahanan alternatif
dan juga diilhami keberhasilan Raja
Majapahit Brawijaya V
yang berhasil meloloskan diri
dari kepungan musuh. Dengan demikian jelas bahwa Sultan Hamengku Buwono I pada
saat membangun Taman Sari tidak meninggalkan ungkapan bahasa Jawa : Sajroning
among suka, tan tinggal duga lan prayoga (Sewaktu bersuka ria tidak
meninggalkan kewaspadaan dan tidak boleh lengah). Fungsi Taman Sari yang lain
yang tidak kalah pentingnya adalah sebagai tempat konservasi alam, baik flora,
fauna maupun air tanah. Hampir semua jenis tanaman, baik tanaman hias, tanaman
buah, rempah-rempah dan tanaman obat ada di Taman Sari, begitu pula fauna yang
dipelihara sepanjang kanal antara Pulau Kenanga sampai Pulau Gedhong. Adapun
air untuk kolam pemandian di Taman Umbul
Binangun memanfaatkan air
dari sumber Pacethokan,
sedang untuk segaran di Pulau
Kenanga sampai ke pulau
Gedhong menggunakan air dari Sungai Winanga yang dialirkan ke Kraton melalui
Kali Larangan. Bahkan air pengisi Jagang (parit di sekeliling Beteng Karaton)
konon airnya juga diambil dari Sungai Winanga.
Tata ruang Keraton Yogyakarta seperti tersebut di
atas merupakan manifestasi dari adi luhungnya budaya Jawa yang kasat mata
(tangible) disamping juga yang
tidak kasat mata
(intangible) antara lain
seperti ajaran Sultan hamengku Buwono I
tentang Sewiji (Nyawiji)
, Greget, Sengguh, Ora mingkuh
yang dijadikan dasar falsafah hidup, pandangan hidup dan falsafah joged
Mataram.
a. Sebagai Falsafah Hidup :
1).
Sewiji
Orang
harus selalu ingat kepada Tuhan Y.M.E
2).
Greget
Seluruh
aktivitas dan gairah hidup harus disalurkan melalui jalan Allah SWT.
3).
Sengguh
Harus
merasa bangga ditakdirkan sebagai makhluk tersempurna
4).
Ora mingkuh
Meskipun
mengalami banyak kesukaran-kesukaran dalam hidup, namun selalu percaya kepada
Tuhan Yang Maha Adil
b. Sebagai Pandangan Hidup
1).
Sewiji
Apabila
seseorang mempunyai cita-cita maka konsentrasi harus diarahkan ke tujuan itu.
2).
Greget
Dinamik
dan semangat harus diarahkan ke tujuan melalui saluran- saluran yang wajar.
3).
Sengguh
Percaya penuh
pada kemampuan pribadinya
untuk mencapai tujuan.
4). Ora mingkuh
Meskipun
dalam perjalanan menuju ke tujuan (cita-cita) akan menghadapi halangan-halangan
tetap tidak akan mundur setapakpun.
c.
Sebagai Falsafah Joged Mataram
1).
Sewiji
Konsentrasi
total tanpa menimbulkan ketegangan jiwa
2).
Greget
Dinamis
atau semangat yang membara di dalam jiwa setiap penari tidak boleh
dilepaskan begitu saja,
akan tetapi harus
dapat dikekang untuk disalurkan ke arah yang wajar dan menghindari
tindakan yang kasar.
3).
Sengguh
Percaya
diri sendiri tanpa mengarah ke kesombongan atau arogansi.
4).
Ora mingkuh.
Tidak
lemah jiwa atau kecil hati, tidak takut menghadapi kesukaran- kesukaran dan
mengandung arti penuh tanggung jawab.
Unsur-unsur Budaya Jawa yang intangible yang masih terpelihara di Yogyakarta adalah
nilai-nilai luhur (value) dan
keyakinan-keyakinan (beliefs)
yang digunakan sebagai rencana
atau pedoman perilaku atau adat serta untuk memecahkan masalah-masalah yang berlaku
dari generasi ke generasi. Salah satu nilai budaya Jawa yang masih melekat pada
kehidupan masyarakat Yogyakarta adalah Hamemayu Hayuning Bawono . Secara
harfiah arti hamemayu hayuning bawono adalah membuat dunia menjadi hayu (indah)
dan rahayu (selamat dan lestari). Makna yang lebih dalam dari ungkapan ini
adalah sikap dan
perilaku manusia yang selalu mengutamakan harmoni, keselarasan,
keserasian dan keseimbangan hubungan
antara manusia dengan
Tuhannya, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan alam
lingkungannya. Muara dari sikap Hamemayu Hayuning Bawono ini akan terwujud
negara yang panjang, punjung gemah ripah loh jinawi,tata, tentrem, kerta tur
raharja.
Niali-nilai budaya Jawa lain yang bersifat
simbolis sering dimanifestasikan ke dalam bentuk upacara adat seperti upacara
pernikahan, tarapan, tedhak siti, wiwit (awal menunai padi), garebeg,
upacara bersih desa, merti sungai
sampai bentuk arsitektur bangunan. Upacara adat sendiri yang sampai saat ini
masih sering dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Jawa pada umumnya dan
masyarakat Yogyakarta pada khususnya mempunyai 3 (tiga) fungsi :
1. Fungsi Spiritual.
Upacara
adat memberikan petunjuk atau gambaran hubungan manusia dengan Tuhan (Hablun min Allah). Pada fungsi spiritual
ini kepentingan rohani manusia akan terpenuhi.
2. Fungsi Sosial
Upacara
adat melibatkan individu-individu warga masyarakat (Hablun min Annas) yang
mempunyai kepentingan sama, yang dilandasi oleh kepercayaan dan keyakinan yang
sama pula, sehingga dapat menciptakan kerukunan sosial dan membawa dampak
terwujudnya ketenangan, ketentraman dan kesejahteraan hidup.
3. Fungsi Pelestarian Lingkungan Fisik / Alam.
Dibalik konsepsi keyakinan yang tertuang dalam
mitos-mitos dan upacara adat yang dianggap
sakral dan keramat tersebut terkandung
kearifan lokal yang dapat berfungsi sebagai mekanisme kontrol terhadap
pengelolaan lingkungan yang cukup efektif., sehingga masyarakat sendiri yang
akan memperoleh manfaat ekologis yang cukup besar.
SUMBER TULISAN: SIMPOSIUM
LINGKUNGAN HIDUP DAN PARIWISATA DALAM RANGKA MEMPERINGATI 20 TAHUN KERJASAMA
PROPINSI DIY DENGAN KYOTO - PERFECTURE, JEPANG
YOGYAKARTA : 18 - 19
JULI 2005
PELESTARIAN WARISAN
BUDAYA JAWA DAN LINGKUNGAN HIDUP UNTUK MENDUKUNG INDUSTRI PARIWISATA DI DIY *
Oleh : YUWONO SRI SUWITO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar