TATA NILAI PENDIDIKAN DAN
PENGETAHUAN
Pendidikan
merupakan proses pembudayaan
manusia yang bertujuan
untuk menumbuhkan, mengelola, dan meningkatkan kualitas kecerdasan
kehidupannya, baik kecerdasan kejiwaan yang meliputi religio-spiritualitas (takwa), moralitas (karsa), emosionalitas (rasa),
dan intelektualitasnya (cipta),
maupun kesehatan dan pengembangan raganya. Oleh karena itu, kepada peserta
didik bukan hanya dibekali ilmu pengetahuan, teknologi, dan ketrampilan teknis
suatu pekerjaan, melainkan harus ditanamkan nilai-nilai dan norma-norma yang
amat mendasar bagi kehidupannya sebagai makhluk yang berbudaya. Konsekuensinya,
penyelenggaraan pendidikan harus mengedepankan penanganan dan penyediaan
fasilitas yang baik bagi penumbuhan, pengelolaan, dan peningkatan ketakwaan,
akhlak atau budi pekerti, kesopansantunan, seni budaya, kecakapan, ketrampilan,
dan kesehatan beserta ketrampilan jasmani peserta didik. Penyenggaraan
pendidikan harus membuka peluang seluas-luasnya bagi aktualisasi diri dan
pengembangan atas segenap potensi yang dimiliki peserta didik.
Pengetahuan merupakan daur proses dan hasil
pengenalan secara akumulatif dan terus- menerus yang dilakukan manusia terhadap
diri sendiri dan apa saja di luar dirinya, baik mengenai benda-benda tak hidup,
tumbuh-tumbuhan, hewan, sesama manusia, maupun hal-hal yang bersifat
adi-duniawi (supranatural). Dalam
konteks hidup bersama dan konteks kesejarahan, pengetahuan sebagai hasil
pengenalan manusia secara kolektif dipraktekkan, dipertukarkan, diajarkan,
dihimpun, dikoreksi, dikembangkan, dan diwariskan dari zaman ke zaman.
Pengetahuan merupakan sarana yang penting bagi manusia dalam rangka menunaikan
tugas mulianya, yakni mengusahakan dan menjaga kebenaran, kebaikan, keindahan,
keselamatan, dan kelestarian dunia (hamemayu
hayuning bawana).
Dalam sejarah peradabannya yang panjang, budaya
Jawa Yogyakarta telah memiliki begitu banyak pengetahuan mulai dari pengetahuan
bercocok tanam (olah tetanèn),
perhitungan musim dan iklim (pranata
mangsa), peternakan dan perikanan, hewan piaraan (klangenan), pertukangan (kawruh
kalang), metalurgi atau ilmu pengolahan logam baik logam biasa maupun logam
mulia (mranggi), batu mulia,
pertekstilan baik tenun maupun batik, peralatan rumah tangga, ukiran kayu dan
logam, sarana transportasi, perancangan bangunan (arsitektur), penataan bangunan dan kawasan pemukiman (planologi), seni olah boga (olah- olah), seni tata busana (ngadi busana), seni perawatan tubuh dan
kecantikan (ngadi salira),
pengobatan (reracik jampi), hingga
kosmogoni dan nujum,
yang biasanya berupa numerologi (ngèlmu pétung), dan masih
terdapat seribu satu pengetahuan lain yang kesemuanya itu merupakan kearifan
lokal dan kekayaan budaya yang amat berharga, dan oleh karenanya
perlu dijaga, dilestarikan,
dan dikembangkan sesuai
dengan tuntutan zaman.
Bermacam ragam wujud pengetahuan yang dimiliki
komunitas Jawa Yogyakarta tersebut merupakan pengetahuan dari yang bersifat
teoritik sampai yang bersifat praktik, dari pengetahuan yang bersifat spiritual
sampai ke pengetahuan yang bersifat material. Dalam praktek, sebenarnya tidak
pernah ada pengetahuan yang memiliki satu dimensi saja. Pengetahuan yang
tampaknya berdimensi praktik belaka, pada dasarnya juga memiliki dimensi
teoritiknya. Pengetahuan yang tampaknya berdimensi material belaka, pada
dasarnya juga memiliki dimensi spiritualnya. Begitu pula sebaliknya. Setiap
pengetahuan yang bersifat kejawaan sebenarnya bersifat multidimensi.
Keterbukaan dan kelenturan budaya Jawa Yogyakarta
telah memperkaya khasanah
pengetahuan yang dimilikinya karena pengetahuan yang datang
dari berbagai penjuru sepanjang zaman senantiasa diakomodasi, diadopsi,
diadaptasi, dan disinkretisasi dengan pengetahuan ciptaan sendiri dengan
mengindahkan prinsip keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara yang
lahiriah (material) dan yang batiniah
(spiritual), antara yang profan dan
yang sakral, antara yang bersifat fisik dan yang bersifat metafisik, antara
yang duniawi (natural) dan
adi-duniawi (supranatural), antara yang rasional dan yang supra-rasional, dan
antara yang bersifat individual dan yang bersifat komunal dan sosial.
Mencari pengetahuan itu wajib hukumnya bagi setiap
orang. Pencarian pengetahuan harus dijalani dengan usaha keras agar dapat
dicapai hasil yang memadai (ngèlmu iku
kelakoné kanthi laku). Usaha keras itu harus dilandasi dengan kemauan
keras, kesungguhan hati, tekad, dan semangat, karena keempat hal itu akan
memberikan kekuatan, ketabahan, dan kegigihan (lekasé lawan kas, tegesé kas nyantosani). Di samping itu, yang
utama adalah keteguhan hati untuk tetap tegar menghadapi godaan hawa nafsu yang
dapat menyesatkan (setya budya pangekesé
dur angkara). Dengan demikian, pengetahuan yang dicari akan diperoleh
dengan saksama dan berguna bagi kehidupan baik untuk diri sendiri maupun untuk
masyarakat, baik untuk kehidupan duniawi maupun kehidupan ukhrowi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar