TATA NILAI RELIGIO-SPIRITUAL
Dunia yang tergelar dengan seluruh isinya termasuk
manusia ini berasal dari Tuhan dan kelak akan kembali kepada Tuhan (mulih mula
mulanira). Tuhan ialah asal-muasal dan tempat kembali segala sesuatu (sangkan
paraning dumadi). Dengan kekuasaan-Nya yang tanpa batas, Tuhan menciptakan
dunia beserta isinya (jagad gedhé; makrokosmos), termasuk manusia (jagad cilik;
mikrokosmos), dengan keagungan cinta kasih-Nya. Tuhan adalah penguasa di atas
segala penguasa yang pernah ada di dunia. Tuhan tidak dapat digambarkan dengan
perumpamaan apa pun (tan kena kinaya apa). Ciptaan Tuhan beraneka ragam wujud
dan derajatnya, berubah-ubah, dan bersifat sementara (owah gingsiring kanyatan,
mobah mosiking kahanan),
bahkan manusia hidup
di dunia ini hanyalah bersifat sementara seakan-akan
sekadar singgah sejenak untuk meneguk air (urip iku bebasan
mung mampir ngombé), sedangkan Tuhan merupakan
Kenyataan Sejati (Kasunyatan
Jati) yang bersifat Azali dan Abadi, tiada berawal pun pula tiada berakhir.
Tuhan adalah dzat yang meliputi segala sesuatu, tetapi tidak dapat diinderai
dengan cara apa pun (adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa sénggolan). Meskipun
demikian, Tuhan senantiasa menyertai dan mengawasi dunia ini sehingga tiada
satu peristiwa sekecil apa pun yang terjadi di luar penglihatan Tuhan (Pangeran
iku ora saré).
Dunia dengan segala isinya yang diciptakan Tuhan
ini beraneka rupa wujudnya dan berjenjang-jenjang derajatnya. Namun demikian
semua tertata dan terkait satu sama lain secara selaras, serasi, dan seimbang
(harmonis). Masing-masing unsur atau komponen memiliki peran
dan fungsi yang telah
ditentukan secara kodrati
oleh Tuhan, sehingga apabila terjadi ketidaktepatan
posisi atau ketidaktepatan fungsi atas salah satu unsur atau komponen, maka
terjadilah kekacauan (disharmoni).
Kekacauan pada satu
satuan kenyataan (unit realitas) akan mengguncangkan seluruh tatanan
alam semesta (kosmos). Disharmoni pada mikrokosmos akan mempengaruhi harmoni
makrokosmos, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, manusia sebagai
mikrokosmos yang dibekali kesadaran akan cipta, rasa, dan karsa, wajib menjaga harmoni
alam semesta ini dengan tanpa pamrih pribadi yang sempit atau hawa nafsu
egoisme, melainkan harus dengan rela hati lahir batin (lila legawa lair trusing
batin) bersungguh-sungguh berusaha keras secara terus-menerus (sepi ing pamrih
ramé ing gawé) mengusahakan dan menjaga kebenaran (bener), kebaikan (becik),
keindahan (hayu), keselamatan dan kelestarian (rahayu) dunia (hamemayu hayuning bawana).
Dunia yang benar, baik, indah, selamat, dan
lestari itu tampak menggejala dalam kehidupan yang serba tertib dan teratur
(tata), semua kegiatan kehidupan dilaksanakan dengan cermat dan saksama (titi),
sehingga membuahkan ketenteraman (tentrem), kemakmuran dan kesejahteraan (karta
raharja). Dalam kehidupan nyata seringkali terjadi peperangan antara keteraturan
dan kekacauan. Manusia wajib menegakkan keteraturan dengan menghapus
kekacauan (memasuh malaning
bumi). Semua itu
bisa terlaksana apabila
manusia berusaha keras mengerahkan
akal budi dan
segenap kemampuannya untuk mewujudkannya (rahayuning bawana
kapurba waskithaning manungsa). Itulah darma bakti yang harus dilaksanakan oleh
manusia kepada Tuhan, sebagai makhluk paling mulia yang diciptakan-Nya.
Dalam usaha menapaki kehidupan, manusia harus
sadar bahwa seluruh daya upaya yang dikerahkannya memiliki
keterbatasan. Bagaimanapun juga,
Tuhanlah yang akan menentukan kehidupan tiap-tiap orang.
Oleh karena itu, setiap orang harus
ikhlas (lila legawa) dan dengan sabar
menerima (sabar narima) peran dan nasib perjalanan hidupnya. Kematian, jodoh,
anugerah, garis nasib,
dan rejeki bagi
tiap-tiap orang merupakan kepastian yang telah ditentukan
oleh Tuhan (siji pesthi, loro jodho, telu wahyu, papat kodrat, lima bandha).
Manusia sekadar menjalani hidup ini (manungsa saderma nglakoni, kaya wayang
upamané) sebagaimana digariskan oleh Tuhan. Akan tetapi, nilai-nilai seperti
itu bukan berarti mengajak manusia untuk pasrah total tanpa usaha dalam hidup
(fatalistik), melainkan dimaksudkan sebagai kerendahhatian agar hendaknya
manusia tidak sombong senantiasa merasa bisa melakukan apa saja (rumangsa
bisa), namun harus tahu diri akan keterbatasan kemampuannya (bisa rumangsa;
ngrumangsani), jangan mendikte kehendak Tuhan (aja nggégé mangsa), dan
pandai-pandailah bersyukur (narima ing pandum).
Dalam batas kewajaran manusia harus tetap berusaha
(mbudidaya) meningkatkan taraf harkat
dan martabat kehidupannya,
di antaranya dengan
mengusahakan dan terus- menerus meningkatkan kekuasaan,
kekayaan, dan kepandaian atau ilmu (wirya, arta, winasis) yang dimilikinya.
Dengan memiliki dan meningkatkan ketiga hal itu, diharapkan kehidupannya
menjadi lebih benar, lebih baik, lebih indah, dan lebih bijaksana, bahkan sedapat
mungkin menjadi orang yang sejahtera, berbahagia, dan berpengaruh secara luas karena
memiliki kedudukan yang penting dalam masyarakat (mukti wibawa mbaudhendha).
Meskipun mencari harta dan kedudukan lahiriah memang dianjurkan, namun dimensi
batiniah tetap lebih diutamakan (sugih tanpa bandha).
Pada dasarnya tidak seorang pun mengetahui dengan
pasti garis hidupnya. Oleh karena itu, upaya keras mengubah nasib masih tetap
terbuka lebar dengan cara lebih tekun berusaha dan lebih khusuk berdoa (nang
donya kang sugih puji, yèn sira temen satuhu, tuhu teka dennya muja), sebab apa
yang tampaknya seakan-akan telah digariskan sesungguhnya masih dapat diubah
dengan doa dan ikhtiar kerja keras secara tepat (kodrat bisa diwiradat). Dengan
demikian, sebaik-baik sikap hidup ialah merampungkan segala urusan keikhtiaran
sampai derajat tertinggi menurut kemampuan manusiawinya (mupus), kemudian
menunggu keputusan Tuhan dengan pengharapan yang baik.
Agar dalam hidupnya manusia banyak mendapatkan
keselamatan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan dijauhkan dari malapetaka (rahayu
ingkang sami pinanggih, widada nir ing sambikala), maka manusia harus
senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan. Mendekatkan diri kepada Tuhan dengan
benar hendaklah dimulai dengan membersihkan diri dari perbuatan tercela lima M
(ma-lima), yakni membunuh (mateni), mencuri (maling), berjudi (main),
berzina (madon), menghisap
candu atau narkoba
jenis apa pun
dan meminum minuman keras yang dapat mengakibatkan lupa diri (madat;
mendem; mabuk). Di samping itu, agar proses mendekatkan diri kepada Tuhan
berhasil dengan baik, manusia harus mengurangi kenikmatan duniawi dan
senantiasa waspada terhadap godaan nafsu duniawi yang
menggiurkan (cegah dhahar
lawan guling, kaprawiran
dèn kaesthi), mengontrol dan
membimbing nafsunya (lauwamah – amarah – supiyah – muthmainah). Berkomunikasi
secara spiritual dengan Tuhan (saréngat – tarékat – hakékat – makripat; sembah
raga – sembah cipta – sembah jiwa – sembah rasa). Manusia harus menyelami
dirinya sendiri kedekatannya dengan Tuhan dan harus senantiasa berusaha keras
agar semakin dekat dengan Tuhan menurut keyakinannya.
Dalam
berkomunikasi spiritual dengan Tuhan, setiap orang
memiliki kebebasan penuh
beribadah menurut tata cara kepercayaan-keagamaan yang diyakininya. Tidak
seorang pun berhak untuk memaksakan kepercayaan-keagamaannya kepada siapa pun
dan dengan cara apa pun dan memaksakan tata cara peribadatan apa pun yang
diyakininya kepada siapa pun. Demikian pula tidak seorang pun berhak melarang
atau menghalang-halangi seseorang atau sekelompok orang untuk berkomunikasi
dengan Tuhan menurut kepercayaan-keagamaan dan tata cara peribadatan yang
diyakininya, karena kepercayaan- keagamaan merupakan hak azasi manusia yang
secara kodrati melekat pada tiap-tiap orang. Perbedaan keyakinan merupakan
kewajaran yang harus dihormati oleh setiap orang. Orang harus toleran dan menjaga perasaan orang lain
(amemangun karyénak tyasing sasama) dalam keberbedaan keyakinan satu
sama lain. Tidak seorang pun layak merasa paling benar ketakwaannya kepada
Tuhan (ora golèk beneré dhéwé) karena peribadatan yang dijalankannya, sebab
derajat ketakwaan seseorang lebih dinilai dari perilaku kongkritnya dalam
kehidupan sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar