TATA NILAI ADAT DAN TRADISI
Adat
berarti sesuatu yang
dikenal, diketahui, dan
diulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan dalam kehidupan komunitas
atau masyarakat tertentu. Adat berupa nilai-nilai yang dikemas dalam
norma-norma tertentu. Nilai dan norma yang terkandung dalam suatu adat
diekspresikan dalam bahasa, tutur kata, gerak-gerik tubuh, perilaku, tatacara,
hukum, atau serangkaian perbuatan tertentu yang dianggap sebagai suatu
aktivitas yang memang patut, bahkan harus, dilakukan. Adat yang berisi nilai
dan norma tertentu yang melembaga menuntut ketaatan dari komunitas
pendukungnya.
Adat yang melembaga dan dijalankan terus-menerus
secara turun-temurun disebut tradisi. Dengan perkataan lain, tradisi merupakan
pemberlangsungan adat secara terus-menerus, turun-temurun, dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Adat yang diekspresikan dalam kehidupan kongkrit
sehari-hari disebut “cara hidup” yang bagi penganutnya dianggap biasa, wajar,
lazim, dan sudah semestinya. Sedangkan pengekspresian suatu adat yang
dilaksanakan secara resmi dan melibatkan banyak orang biasanya disebut
“upacara”. Upacara merupakan media atau wahana bagi ekspresi suatu adat. Dengan
upacara, adat yang bermuatan nilai dan norma tertentu yang bersifat abstrak itu
kemudian “diikrarkan”, dinyatakan, diwujudkan.
Dalam kebudayaan Jawa Yogyakarta, upacara adat
yang telah menjadi tradisi amat luas cakupannya, di antaranya berkenaan dengan
daur hidup manusia, peribadatan keagamaan, dan persahabatan manusia dengan
alam. Upacara adat yang berkenaan dengan daur hidup manusia dimulai dari ketika
manusia masih berbentuk janin berusia tujuh bulan (mitoni; tingkeban), lahir (brokohan),
putus tali pusarnya (pupak puser;
puputan) pemberian nama (njenengi),
aqiqah (kékahan), turun ke tanah (tedhun
lemah; tedhak sitèn), khitanan anak laki-laki (sunatan; supitan) dan
perempuan (tetesan), menikah (omah-omah), dan meninggal dunia (tilar donya) dengan segala rangkaian upacara setelahnya. Di
samping upacara daur hidup,
terdapat pula upacara
ruwatan, yakni suatu
upacara yang dimaksudkan untuk
“membersihkan” pengaruh buruk (sukerta)
yang mungkin timbul pada diri seseorang.
Upacara adat yang berkenaan dengan peribadatan
keagamaan meliputi hampir seluruh bulan setiap tahun. Dimulai dengan datangnya
bulan Sura (Muharram) sebagai bulan
pertama di setiap awal tahun dalam penanggalan Jawa selalu dilakukan sejumlah
ritual yang biasanya berupa laku prihatin sebagai usaha pencucian diri (suran), termasuk pencucian benda-benda
pusaka. Bulan Sapar (Shafar) juga
diupacarai (saparan), bulan Mulud (Rabiul Awwal) juga diupacarai (Muludan) untuk memperingati kelahiran
Nabi Muhammad SAW, bahkan
di keraton diadakan
upacara besar yang
disebut sekaten (garebeg mulud). Bulan Rejeb (Rajab) juga diupacarai (rejeban), disambung upacara adat bulan
Ruwah (Sya’ban) sebagai bulan
persiapan memasuki bulan puasa yang biasanya dilaksanakan upacara pembersihan
makam (nyadran; resik kubur).
Memasuki bulan Puasa (Ramadhan),
biasanya hampir tidak ada kegaiatan upacara kegembiraan seperti resepsi
pernikahan atau khitanan. Namun upacara kenduri tetap diadakan pada malam-malam
ganjil di atas tanggal 20 Ramadhan (maleman),
untuk menyongsong turunnya lailatul qadar.
Memasuki bulan Sawal (Syawal), umat Islam Jawa melakukan kenduri sawal, bahkan keraton
juga mengadakan upacara garebeg sawal. Pada bulan yang dianggap baik itu
orang-orang saling kunjung-mengunjungi, saling bermaaf-maafan, menyambung dan
memperkokoh tali persudaraan dan kasih sayang (silaturahim). Dalam hampir setiap unit komunitas, acara
silaturahim itu kini bahkan dilakukan secara ekstensif dalam tradisi
“syawalan”, yakni tradisi tahunan berkumpul bersama, saling bersalaman dan
bermaaf- maafan, bergembira bersama, makan bersama dengan menu khas lontong
atau ketupat dengan sayur opor ayam berserta kelengkapannya, dan pesertanya
bukan hanya para pemeluk agama Islam saja melainkan seluruh anggota komunitas
itu apa pun kepercayaan- keagamannya, karena tradisi syawalan kini telah
dianggap menjadi milik bersama sebagai penguat ikatan sosial. Setelah Syawal,
bulan yang dianggap baik ialah bulan Besar (Dzulhijjah).
Pada bulan haji itu di samping dilangsungkan upacara korban, banyak
dilangsungkan hajat, baik menikahkan anak (mantu),
mengkhitankan anak (nyunatké), maupun hajat lain, karena bulan Besar dianggap
bulan baik. Keraton juga mengadakan upacara adat garebeg besar.
Upacara
adat yang berkenaan
dengan persahabatan antara
manusia dan alam dilaksanakan oleh sebagian masyarakat.
Upacara adat yang paling sering dilaksanakan ialah ungkapan rasa syukur dan
pengharapan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar Tuhan memberikan kesuburan sehingga
penghasilan pertanian, peternakan, dan perikanan melimpah, dan tidak
menimbulkan bencana bagi manusia. Upacara adat dalam konteks tersebut dilakukan
dengan varian waktu yang bermacam-macam, baik bulan, tanggal, maupun jam. Di
samping itu, tempat upacara pun bermacam-macam variannya seperti di masjid,
tempat ibadah lainnya, sanggar, perbukitan, makam atau tanda jejak (petilasan) tokoh yang disegani (pepundhèn), sumber air atau telaga, dan
lain sebagainya. Upacara tahunan yang rutin dalam konteks tersebut yang lebih
umum disebut dengan sejumlah nama, seperti bersih desa, merti desa atau merti
dusun, rasulan, sedhekah bumi, dan sebagainya. Bagi warga masyarakat yang
tinggal di pesisir yang bermata pencaharian sebagai nelayan,
diadakan upacara sedhekah
laut, larungan, atau
labuhan. Upacara labuhan bukan
hanya dilakukan oleh khalayak pesisir, tetapi juga dilakukan oleh pihak keraton.
Bahkan, labuhan yang dilaksanakan keraton bukan hanya labuhan di Laut Selatan,
melainkan juga di Gunung Merapi.
Setiap pelaksanaan upacara adat memerlukan
sejumlah syarat tertentu, baik para
pelaku, waktu, tempat, maupun perlengkapannya (ubarampé). Suatu upacara adat akan memiliki nilai yang tinggi
apabila semua persyaratan tersebut terpenuhi baik secara kualitatif maupun
kuantitatif. Setiap upacara adat yang dilaksanakan selalu mengandung maksud
atau keperluan tertentu, di antaranya untuk pemujaan, permohonan, pencucian,
penolakbalaan, inisiasi, ungkapan kesyukuran, pengukuhan, atau sekadar
pengekspresian kegembiraan. Dalam praktek, suatu upacara adat acap kali
merupakan gabungan ekspresi dari sejumlah maksud di atas sekaligus. Namun di
atas segala-galanya, di setiap upacara adat pasti terkandung niat memohon
keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keselamatan merupakan kata
kunci dalam setiap
upacara adat, dan
oleh karenanya dalam
setiap upacara adat selalu terdapat acara berdoa memohon keselamatan (slametan; wilujengan) dengan berbagai
cara dan sarana. Dalam suatu upacara adat biasanya akan ditampakkan
simbol-simbol kesakralan,
kekhidmatan, keagungan, keindahan,
dan bahkan keceriaan. Adat dan tradisi yang menggejala
dalam upacara-upacara tersebut hendaklah dipelihara dan dikembangkan, karena
dalam setiap upacara adat senantiasa terdapat nilai-nilai kebijaksanaan hidup
yang dikandung dan dipesankannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar