Sesanti

Sesanti

Sabtu, 04 Januari 2014

4. Adat dan Tradisi


TATA NILAI ADAT DAN TRADISI

Adat  berarti  sesuatu  yang  dikenal,  diketahui,  dan  diulang-ulang  sehingga  menjadi kebiasaan dalam kehidupan komunitas atau masyarakat tertentu. Adat berupa nilai-nilai yang dikemas dalam norma-norma tertentu. Nilai dan norma yang terkandung dalam suatu adat diekspresikan dalam bahasa, tutur kata, gerak-gerik tubuh, perilaku, tatacara, hukum, atau serangkaian perbuatan tertentu yang dianggap sebagai suatu aktivitas yang memang patut, bahkan harus, dilakukan. Adat yang berisi nilai dan norma tertentu yang melembaga menuntut ketaatan dari komunitas pendukungnya.

Adat yang melembaga dan dijalankan terus-menerus secara turun-temurun disebut tradisi. Dengan perkataan lain, tradisi merupakan pemberlangsungan adat secara terus-menerus, turun-temurun, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Adat yang diekspresikan dalam kehidupan kongkrit sehari-hari disebut “cara hidup” yang bagi penganutnya dianggap biasa, wajar, lazim, dan sudah semestinya. Sedangkan pengekspresian suatu adat yang dilaksanakan secara resmi dan melibatkan banyak orang biasanya disebut “upacara”. Upacara merupakan media atau wahana bagi ekspresi suatu adat. Dengan upacara, adat yang bermuatan nilai dan norma tertentu yang bersifat abstrak itu kemudian “diikrarkan”, dinyatakan, diwujudkan.

Dalam kebudayaan Jawa Yogyakarta, upacara adat yang telah menjadi tradisi amat luas cakupannya, di antaranya berkenaan dengan daur hidup manusia, peribadatan keagamaan, dan persahabatan manusia dengan alam. Upacara adat yang berkenaan dengan daur hidup manusia dimulai dari ketika manusia masih berbentuk janin berusia tujuh bulan (mitoni; tingkeban), lahir (brokohan), putus tali pusarnya (pupak puser; puputan) pemberian nama (njenengi), aqiqah (kékahan), turun ke tanah (tedhun lemah; tedhak sitèn), khitanan anak laki-laki   (sunatan;   supitan)   dan   perempuan   (tetesan),   menikah   (omah-omah),   dan meninggal dunia (tilar donya) dengan segala rangkaian upacara setelahnya. Di samping upacara   daur   hidup,   terdapat   pula   upacara   ruwatan,   yakni   suatu   upacara   yang dimaksudkan untuk “membersihkan” pengaruh buruk (sukerta) yang mungkin timbul pada diri seseorang.

Upacara adat yang berkenaan dengan peribadatan keagamaan meliputi hampir seluruh bulan setiap tahun. Dimulai dengan datangnya bulan Sura (Muharram) sebagai bulan pertama di setiap awal tahun dalam penanggalan Jawa selalu dilakukan sejumlah ritual yang biasanya berupa laku prihatin sebagai usaha pencucian diri (suran), termasuk pencucian benda-benda pusaka. Bulan Sapar (Shafar) juga diupacarai (saparan), bulan Mulud (Rabiul Awwal) juga diupacarai (Muludan) untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad  SAW,  bahkan  di  keraton  diadakan  upacara  besar  yang  disebut  sekaten (garebeg mulud). Bulan Rejeb (Rajab) juga diupacarai (rejeban), disambung upacara adat bulan Ruwah (Sya’ban) sebagai bulan persiapan memasuki bulan puasa yang biasanya dilaksanakan upacara pembersihan makam (nyadran; resik kubur). Memasuki bulan Puasa (Ramadhan), biasanya hampir tidak ada kegaiatan upacara kegembiraan seperti resepsi pernikahan atau khitanan. Namun upacara kenduri tetap diadakan pada malam-malam ganjil di atas tanggal 20 Ramadhan (maleman), untuk menyongsong turunnya lailatul qadar.

Memasuki bulan Sawal (Syawal), umat Islam Jawa melakukan kenduri sawal, bahkan keraton juga mengadakan upacara garebeg sawal. Pada bulan yang dianggap baik itu orang-orang saling kunjung-mengunjungi, saling bermaaf-maafan, menyambung dan memperkokoh tali persudaraan dan kasih sayang (silaturahim). Dalam hampir setiap unit komunitas, acara silaturahim itu kini bahkan dilakukan secara ekstensif dalam tradisi “syawalan”, yakni tradisi tahunan berkumpul bersama, saling bersalaman dan bermaaf- maafan, bergembira bersama, makan bersama dengan menu khas lontong atau ketupat dengan sayur opor ayam berserta kelengkapannya, dan pesertanya bukan hanya para pemeluk agama Islam saja melainkan seluruh anggota komunitas itu apa pun kepercayaan- keagamannya, karena tradisi syawalan kini telah dianggap menjadi milik bersama sebagai penguat ikatan sosial. Setelah Syawal, bulan yang dianggap baik ialah bulan Besar (Dzulhijjah). Pada bulan haji itu di samping dilangsungkan upacara korban, banyak dilangsungkan hajat, baik menikahkan anak (mantu), mengkhitankan anak (nyunatké), maupun hajat lain, karena bulan Besar dianggap bulan baik. Keraton juga mengadakan upacara adat garebeg besar.

Upacara   adat   yang   berkenaan   dengan   persahabatan   antara   manusia   dan   alam dilaksanakan oleh sebagian masyarakat. Upacara adat yang paling sering dilaksanakan ialah ungkapan rasa syukur dan pengharapan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar Tuhan memberikan kesuburan sehingga penghasilan pertanian, peternakan, dan perikanan melimpah, dan tidak menimbulkan bencana bagi manusia. Upacara adat dalam konteks tersebut dilakukan dengan varian waktu yang bermacam-macam, baik bulan, tanggal, maupun jam. Di samping itu, tempat upacara pun bermacam-macam variannya seperti di masjid, tempat ibadah lainnya, sanggar, perbukitan, makam atau tanda jejak (petilasan) tokoh yang disegani (pepundhèn), sumber air atau telaga, dan lain sebagainya. Upacara tahunan yang rutin dalam konteks tersebut yang lebih umum disebut dengan sejumlah nama, seperti bersih desa, merti desa atau merti dusun, rasulan, sedhekah bumi, dan sebagainya. Bagi warga masyarakat yang tinggal di pesisir yang bermata pencaharian sebagai  nelayan,  diadakan  upacara  sedhekah  laut,  larungan,  atau  labuhan.  Upacara labuhan bukan hanya dilakukan oleh khalayak pesisir, tetapi juga dilakukan oleh pihak keraton. Bahkan, labuhan yang dilaksanakan keraton bukan hanya labuhan di Laut Selatan, melainkan juga di Gunung Merapi.

Setiap pelaksanaan upacara adat memerlukan sejumlah syarat tertentu,  baik para pelaku, waktu, tempat, maupun perlengkapannya (ubarampé). Suatu upacara adat akan memiliki nilai yang tinggi apabila semua persyaratan tersebut terpenuhi baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Setiap upacara adat yang dilaksanakan selalu mengandung maksud atau keperluan tertentu, di antaranya untuk pemujaan, permohonan, pencucian, penolakbalaan, inisiasi, ungkapan kesyukuran, pengukuhan, atau sekadar pengekspresian kegembiraan. Dalam praktek, suatu upacara adat acap kali merupakan gabungan ekspresi dari sejumlah maksud di atas sekaligus. Namun di atas segala-galanya, di setiap upacara adat pasti terkandung niat memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keselamatan merupakan  kata  kunci  dalam  setiap  upacara  adat,  dan  oleh  karenanya  dalam  setiap upacara adat selalu terdapat acara berdoa memohon keselamatan (slametan; wilujengan) dengan berbagai cara dan sarana. Dalam suatu upacara adat biasanya akan ditampakkan simbol-simbol kesakralan,  kekhidmatan,  keagungan,  keindahan,  dan  bahkan  keceriaan. Adat dan tradisi yang menggejala dalam upacara-upacara tersebut hendaklah dipelihara dan dikembangkan, karena dalam setiap upacara adat senantiasa terdapat nilai-nilai kebijaksanaan hidup yang dikandung dan dipesankannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar