Sesanti

Sesanti

Sabtu, 04 Januari 2014

3. Kemasyarakatan



TATA NILAI KEMASYARAKATAN

Masyarakat (bebrayan agung) dipahami sebagai suatu keluarga tetapi keluarga yang besar. Landasan utama suatu keluarga ialah kasih sayang (sih kinasihan; asih ing sesami) di antara  para  anggotanya.  Hidup  bermasyarakat  haruslah  dilandasi  oleh  kasih  sayang dengan  mewujudkan  dan  senantiasa  menjaga kerukunan.  Kerukunan  merupakan  tiang utama kehidupan kemasyarakatan, karena kerukunan memberikan kekuatan, sedangkan pertikaian mendatangkan kehancuran (rukun agawé santosa, crah agawé bubrah). Apabila timbul persoalan di antara anggota masyarakat, maka harus diselesaikan sebaik-baiknya dengan bermusyawarah secara kekeluargaan (ana rembug ya dirembug), karena masyarakat itu sejatinya merupakan suatu keluarga besar.

Seandainya terjadi percikan konflik tidak perlu dibesar-besarkan (kriwikan dadi grojogan), karena dapat melibatkan semakin banyak pihak dalam pertikaian sehingga semakin mengeruhkan permasalahan yang timbul. Suatu perselisihan lebih baik dihadapi dan diselesaikan sendiri dengan kerendahan hati (nglurug tanpa bala). Dan, apabila seseorang merasa benar dan memperoleh kemenangan atas suatu penyelesaian perselisihan, janganlah pihak yang menang itu merendahkan atau menghinakan pihak yang kalah (menang tanpa ngasoraké). Bagaimanapun juga, yang kalah itu tetaplah manusia yang harus dijaga harga dirinya, dijaga martabatnya. Pendek kata, siapa pun dia dan bagaimanapun posisinya, setiap orang harus tetap dimanusiakan (diuwongké). Dalam hidup bersama, di antara anggota masyarakat hendaklah saling berbagi ilmu dan pengalaman (asah) agar semakin cerdas mengelola kehidupan, saling mengasihi (asih) agar semakin nyaman menikmati kehidupan, dan saling membimbing (asuh) agar semakin matang menjalani   kehidupan.   Itulah   hidup   bersama   yang   disemangati   dan   dihiasi   oleh kemanusiaan. Sesungguhnya keselamatan dan kesejahteraan manusia itu dapat terwujud bilamana nilai-nilai kemanusiaan senantiasa terjaga (rahayuning manungsa dumadi karana kamanungsané).

Hidup bersama dalam masyarakat dituntut adanya solidaritas atau kesetiakawanan sosial antar  anggota  masyarakat,  baik  dalam  keadaan  senang  maupun  susah  (sabaya  mati, sabaya mukti). Satu sama lain harus tolong-menolong, bantu-membantu, sehingga setiap permasalahan yang timbul dapat dihadapi dan diselesaikan secara lebih ringan dan memadai. Terlebih lagi, dalam menangani urusan yang berkaitan dengan kepentingan bersama,   antar anggota masyarakat hendaknya seia-sekata, bekerja sama,   bergotong- royong  bahu-membahu  (saiyek  saéka  kapti)  merampungkan  urusan  bersama  dengan sebaik-baiknya. Bahkan, demi kepentingan umum, orang janganlah berhitung-hitung akan imbalan bagi pekerjaan yang dilakukannya (sepi ing pamrih, ramé ing gawé) karena bekerja demi kepentingan umum itu merupakan wujud keutamaan tugas yang harus diemban manusia sebagai makhluk Tuhan dalam rangka memperindah dan menjaga kelestarian dunia  (hamemayu hayuning  bawana),  agar  dunia  senantiasa  dapat  memberi  perasaan aman dan damai (ayom ayem) bagi penghuninya.

Untuk menjaga kohesi dan harmoni kehidupan sosial, hubungan antar anggota masyarakat dilandasi oleh prinsip hormat. Penghormatan ini pertama-tama diberikan kepada kedua orang tua (ingkang dingin rama ibu), mertua lelaki dan perempuan (kaping kalih maratuwa lanang wadon), saudara tua (kaping katri marang sadulur tuwa), guru (kaping paté mring guru sayekti), kepada pemimpin atau atasan (kaping lima marang gustinira). Secara umum, yang muda harus menghormati yang tua atau yang dituakan. Sebaliknya, yang tua atau yang dituakan wajib menghargai, melindungi, membimbing, dan menyayangi yang muda. Prinsip hormat ini dijalankan agar tiap orang bersedia memanusiakan orang lain dan dari lain pihak dirinya juga merasa dimanusiakan oleh orang lain (nguwongké lan diuwongké). Pararel dengan prinsip memanusiakan orang itu ialah prinsip empati dan timbal-balik (tepa salira), suatu prinsip yang menempatkan diri sendiri pada diri orang lain sehingga orang akan berhati-hati dan bertindak adil kepada orang lain karena dalam diri orang lain itu bersemayam pula dirinya yang akan ikut merasakan akibat tindakannya. Dengan demikian, setiap orang tidak merasa terasing dan senantiasa menjadi bagian tak terpisahkan dari orang lain dalam masyarakatnya.

Prinsip hormat yang lebih bersifat batiniah itu diekspresikan secara lahiriah dalam wujud sopan  santun  (tata  krama;  unggah-ungguh).  Sopan  santun  itu  menjauhkan  orang  dari celaan (tata krama iku ngadohaké ing panyendhu). Dalam pergaulan orang harus pandai mengemas dirinya dengan bahasa, busana, dan gerak-gerik anggota tubuh secara santun dan sedapat mungkin menyenangkan hati orang di sekitarnya. Agar dapat membawa diri dengan tepat dalam pergaulan, orang harus pula dengan cermat menyesuaikan ketiga kemasan tadi dengan waktu, tempat, dan konteks (angon mangsa, empan papan, duga prayoga). Dasar terdalam dari semua itu ialah sikap batin yang harus dijaga bahwa menghormat itu bukanlah wujud kerendahdirian melainkan wujud kerendahatian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar