Sesanti

Sesanti

Sabtu, 04 Januari 2014

7. Tata Ruang - Arsitektur



TATA NILAI PENATAAN RUANG DAN ARSITEKTUR

Secara historis dan filosofis, nilai-nilai dasar penataan ruang Yogyakarta telah diletakkan dan disusun oleh Sultan Hamengku Buwono I dan dilanjutkan oleh para penerusnya. Pemilihan lokasi topografis keraton (baik sebagai pusat spiritual, kekuasaan, maupun budaya), penentuan wujud dan penamaan sosok bangunan hingga detail ornamen dan pewarnaannya,  tata  letak  dan  tata  rakit  bangunan,  penentuan  dan  penamaan  ruang terbuka, pembuatan dan penamaan jalan, bahkan hingga penentuan jenis dan nama tanaman,  kesemuanya  itu  secara  simbolis-filosofis  melambangkan  nilai-nilai  perjalanan hidup manusia dan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam.

Perjalanan hidup manusia dilambangkan dalam tata rakit bangunan dan tanaman dalam alur garis simbolis-filosofis dari Panggung Krapyak ke utara hingga Kompleks Kraton sektor selatan. Lambang itu menggambarkan perjalanan hidup manusia sejak lahir dari rahim ibunya (Panggung Krapyak sebagai lambang “Yoni”, representasi gender perempuan) dan benih  manusia  (wiji;  dilambangkan  dengan  nama  Kampung  Mijen  di  sebelah  utara Panggung  Krapyak),  kemudian  memasuki  masa  remaja  (enom;  sinom;  dilambangkan dengan pucuk daun asam jawa) yang senantiasa menyenangkan hati (nyengsemaken; dilambangkan dengan jajaran tanaman pohon asam jawa) dan penuh sanjungan (dilambangkan dengan jajaran tanaman pohon tanjung). Setelah melewati masa remaja, manusia memasuki kedewasaan yang ditandai dengan akil baligh (dilambangkan dengan tanaman pohon pakel) dan keberanian (wani; dilambangkan dengan tanaman pohon kweni) untuk meraih peluang dan menjangkau jauh ke masa depan, melesat laksana anak panah yang lepas dari busurnya (dilambangkan dengan tanaman ringin kurung di Alun-Alun Kidul yang dikelilingi pagar berbentuk busur).

Setelah melewati masa remaja dan memasuki kedewasaan, sampailah kehidupan manusia pada  tahap  saling  menyukai  lawan  jenis,  yang  kemudian     dilanjutkan  ke  jenjang perkawinan. Konsekuensi perkawinan ialah bercampurnya “darah” lelaki (dilambangkan dengan tanaman pohon mangga cempora yang berbunga putih di Sitihinggil Kidul) dan “darah” perempuan (dilambangkan dengan tanaman soka yang berbunga merah). Percampuran darah lelaki dan perempuan itu dilandasi kemauan bersama (gelem; dilambangkan dengan pohon pelem atau mangga di halaman Kamandhungan Kidul). Dengan didasari kemauan dan cinta kasih di antara keduanya, mengucur deraslah “benih” atau  sperma  menjumpai  “telor”  atau  ovum  (kaderesan  sihing  sesama;  dilambangkan dengan tanaman jambu dersana), sehingga menggumpallah kedua unsur itu (kempel; dilambangkan dengan tanaman pohon kepel) menjadi bakal bayi (embrio). Bayi itu kelak akan lahir sebagai calon (magang; dilambangkan dengan Kemagangan) manusia dewasa.

Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, pada akhirnya manusia juga akan kembali kepada penciptanya. Garis simbolis-filosofis dari Tugu Golong-Gilig atau Tugu Pal Putih hingga Kraton melambangkan perjalanan manusia menghadap Sang Khalik. Dalam menempuh perjalanan kembali kepada Sang Khalik, manusia harus memulainya dengan tekad bulat menyatukan (golong-gilig; dilambangkan dengan Tugu Golong-Gilig) segenap kemampuan cipta, rasa, dan karsa untuk menyucikan hati (dilambangkan dengan cat warna putih pada Tugu Golong-Gilig tersebut sehingga tugu itu sering juga disebut sebagai Tugu Pal Putih). Tekad   menyucikan   diri   itu   harus   melalui   jalan   keutamaan   (dilambangkan   dengan Margatama, nama jalan dari tugu ke selatan sampai kawasan Stasiun Kereta Api Tugu; sekarang bernama Jalan Pangeran Mangkubumi) dengan berbekal penerangan (obor; dilambangkan dengan nama jalan Malioboro) berupa ajaran para wali, lalu ditempuhlah jalan kemuliaan (mulya; dilambangkan dengan Margamulya, dahulu nama jalan yang menghubungkan Malioboro dengan Alun-Alun Utara). Dalam menempuh perjalanan itu, diharapkan manusia dapat melewatinya dengan perasaan senang (sengsem; dilambangkan dengan tanaman wit asem atau pohon asam jawa) dan teduh hatinya (ayom; dilambangkan dengan tanaman pohon gayam  yang  dahulu ditanam  di sepanjang  jalan  Margatama - Maliabara - Margamulya).

Kemuliaan itu harus dimantabkan dengan pengusiran segenap hawa nafsu dan perangai buruk (urakan; dilambangkan dengan Pangurakan). Memang tidak mudah jalan menuju Sang Khalik, laksana mengarungi samudera dengan deburan ombak yang dahsyat (alun; dilambangkan dengan Alun-Alun Lor). Setelah perjalanan hidup berakhir, manusia tidak serta merta langsung dapat bertemu dengan Sang Khalik, melainkan harus dengan sabar menanti (nganti-anti; dilambangkan dengan bangunan Bangsal Sri Manganti) di alam kubur menunggu giliran untuk ditimbang atau diteraju terlebih dahulu amal baik dan buruknya (ditraju; dilambangkan dengan bangunan Bangsal Trajumas) selama menjalani hidup di dunia, untuk kemudian memasuki kehidupan kekal di alam kelanggengan (dilambangkan dengan lampu Kyai Wiji yang berada di Gedhong Prabayaksa, lampu yang senantiasa hidup sejak pemerintahan Sultan Hamengku Bowono I hingga sekarang). Dengan demikian, tata rakit bangunan, jalan, beserta tanaman dari Panggung Krapyak ke Kraton melambangkan asal mula dan tahap-tahap kehidupan manusia, sedangkan tata rakit dari Tugu Pal Putih atau Tugu Golong-Gilig ke Kraton melambangkan jalan dan tahap-tahap kembalinya manusia kepada Sang Khalik (sangkan paraning dumadi).

Kraton sebagai tempat tinggal Sultan merupakan pusat kekuasaan politik dan kebudayaan dengan landasan religiositas (disimbolkan ketika Sultan duduk bersamadi di singgasana Bangsal Manguntur Tangkil di Sitihinggil Utara; pandangannya lurus ke utara menatap Tugu Golong-Gilig  dan puncak Gunung Merapi).  Sultan  sebagai  multi pemimpin,  baik  dalam bidang  politik kenegaraan, kemasyarakatan, kebudayaan,  maupun keagamaan  (Sayidin Panatagama, Kalipatolah Ing Tanah Jawa) harus menyediakan ruang publik bagi aktivitas rakyatnya, baik yang bersifat spiritual-keagamaan (disimbolkan dan berwujud bangunan Mesjid Gedhé di sebelah barat Alun-Alun Utara), sosio-budaya (disimbolkan dan berwujud Alun-Alun), dan perekonomian (disimbolkan dan berwujud Pasar Beringharjo). Bangunan kraton, masjid besar, alun-alun, dan pasar merupakan pengejawantahan konsep Caturgatra Tunggal, yakni konsep yang menyinergikan empat anasir secara harmonis bagi kesejahteraan kehidupan masyarakat, baik kesejahteraan lahiriah maupun batiniah.

Simbolisasi hubungan sinergis manusia dengan alam pertama-tama tampak pada pemilihan atas lokasi Negari Ngayogyakarta Hadiningrat yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Posisi geografis Yogyakarta diapit oleh enam sungai dalam formasi tiga lingkar sungai. Lingkar pertama ialah Kali Code di sebelah timur dan Kali Winanga di sebelah barat. Lingkar kedua terdapat Kali Gajahwong di sebelah timur dan Kali Bedog di sebelah barat. Sedangkan lingkar ketiga ialah Kali Opak di sebelah timur dan Kali Progo di sebelah barat. Secara matematis, formasi itu menggambarkan bangun siklis-konsentris. Dalam bangun matematis seperti itu, kraton merupakan pusatnya (konsentris) dan pasangan sungai-sungai tadi menjadi lingkarannya (siklis). Di samping formasi siklis-konsentris, tata rakit keruangan Yogyakarta juga memiliki formasi  linier,  yang  tampak  dalam  “garis  lurus”  simbolis-filosofis  berupa  jajaran  letak Gunung Merapi - Tugu Golong-Gilig - Kraton -  Panggung Krapyak - Laut Selatan. Dalam rangkaian lima “titik” itu, tiga titik merupakan poros utama, yakni Gunung Merapi – Kraton – Laut Selatan. Tiga titik sederet ini bersesuaian dengan konsep “Tri Hita Karana” dan “Tri Angga” (parahyangan – pawongan – palemahan; hulu – tengah - hilir). Ketiganya juga melambangkan anasir api (Merapi), tanah (bumi Kraton), udara (angkasa Kraton), dan air (Laut Selatan) sebagai 4 anasir fisis utama pembentuk dunia dalam kosmogoni Jawa. Dalam bidang biologis, dipesankan nilai-nilai kesuburan, yakni berpadunya alat kelamin perempuan (yoni; disimbolkan dengan bangunan Panggung Krapyak) dan alat kelamin laki- laki (lingga; disimbolkan  dengan bangunan Tugu Golong-Gilig atau Tugu Pal Putih). Baik dalam formasi siklis-konsentris maupun linier, nilai yang hendak disampaikan ialah bahwa dalam kehidupan hendaklah dibangun dan dijaga sinergi dan harmoni antara manusia dan alam, yakni hubungan manusia dengan benda-benda tak hidup, tanaman, dan binatang.

Nilai-nilai yang dipesankan secara simbolik dalam seluruh tata rakit keruangan yang telah dirintis Sultan Hamengku Buwono I dan para penerusnya itu pada dasarnya, pertama, mengingatkan   manusia   agar   senantiasa   sadar   diri   (éling)   tentang   asal-muasal kehidupannya  dan  tempat  kembalinya  kelak  (Sang  Khalik).  Dalam  konteks  keruangan secara fisik, nilai yang dipesankan ialah bahwa dalam tata rakit perkotaan atau kawasan, harus senantiasa disediakan ruang publik dan bangunan yang mencukupi bagi intensitas dan perkembangan komunikasi manusia dengan Tuhan. Secara lebih umum, tata rakit keruangan harus memungkinkan tumbuh dan berkembangnya spiritualitas manusia secara wajar.

Kedua, nilai penting yang dipesankan dari perlambangan tata rakit keruangan Yogyakarta ialah terlaksananya hubungan antarmanusia secara wajar dan harmonis. Dalam konteks keruangan secara fisik, penataan atau tata rakit keruangan harus disediakan ruang publik yang mencukupi sebagai wahana interaksi antara manusia sebagai sarana pengembangan diri manusia secara manusiawi, baik dalam bidang ekonomi, politik kenegaraan, sosial, maupun kebudayaan. Dengan perkataan lain, tata rakit atau penataan ruang harus memungkinkan tumbuh dan berkembangnya sosialitas manusia secara wajar.

Ketiga,  pesan  yang  tak  kalah  penting  dalam  simbolisasi  tata  rakit  penataan  ruang Yogyakarta ialah tentang nilai-nilai hubungan yang sinergis-harmonis antara manusia dan alam. Dalam konteks keruangan secara fisik, tata rakit atau penataan ruang harus dapat menjamin terlaksananya transformasi dan sinergi energi antaranasir alam, baik yang berupa benda-benda tak-hidup (air, tanah, bebatuan, udara, api, dsb.), tumbuh-tumbuhan, maupun binatang, sebagai wahana dan sekaligus pendukung utama bagi kehidupan manusia. Dengan perkataan lain, penataan atau tata rakit keruangan harus menjunjung tinggi nilai- nilai ekologis dan mematuhi norma-normanya.

Dalam dunia arsitektur, dua hal utama yang penting ialah citra dan guna  atau fungsi dalam suatu perencanaan sosok bangunan. Suatu sosok bangunan harus mampu menampilkan citranya sebagai bangunan dengan identitas nilai atau jatidiri tertentu dan fungsi yang harus diembannya. Kraton sebagai pusat budaya telah memberi teladan bahwa setiap bangunan senantiasa menggambarkan citra tertentu dengan muatan identitas nilai yang dikandung dan dipesankannya; dan fungsi yang melekat pada sosok bangunan sebagai wahana kegiatan manusiawi. Komponen bentuk atau struktur, besaran, warna, dan material yang dipakai dalam suatu bangunan harus bersinergi dan harmonis satu sama lain sehingga mencitrakan identitas nilai-nilai kejawaan yang dikehendaki dan memenuhi fungsi wahana kegiatan manusiawi. Secara garis besar, citra kejawaan yang ditampilkan melambangkan nilai-nilai kesakralan (teologis), kesusilaan (etis), kesopansantunan (etiketis), dan keindahan (estetis). Tiap-tiap bangunan menyandang citra utamanya masing-masing, meskipun acapkali suatu bangunan menyandang sejumlah citra sekaligus. Citra dan fungsi harus sinergis dan selaras. Konsekuensinya, di satu pihak citra harus dapat memenuhi dan menggambarkan fungsi dan di lain pihak fungsi harus sesuai dengan citra.

Keharmonisan suatu bangunan bukan saja ditentukan oleh komponennya, melainkan juga ditentukan oleh tata letak atau posisi dan rangkaian tiap-tiap bangunan sehingga tercipta komposisi dan konfigurasi antarbangunan yang selaras, serasi, dan seimbang. Suatu dominasi, apalagi kontras antarbangunan dalam suatu kawasan amat dihindari, karena dominasi atau kontras itu melambangkan disharmoni. Di samping itu, kegiatan manusiawi harus terjamin pelaksanaanya secara wajar dan layak oleh fungsi-fungsi yang diberikan oleh  suatu  bangunan.  Oleh  karena  itu,  suatu  bangunan  --  rumah  misalnya,  bagi penghuninya harus layak sebagai ruang tinggal pribadi (longkangan), sebagai tempat kenyamanan dan kesehatan fisik beserta pemenuhan kebutuhan keseharian (panggonan), sebagai simbol ekspresi diri dan tempat interaksi sosio-budaya (palungguhan), dan sebagai tempat berkontemplasi atau berkomunikasi dengan Tuhan (panepèn).

Untuk mewujudkan tata nilai arsitektur di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta perlu disiapkan peraturan perundang-undangan yang mengatur Arahan Persyaratan Pola Arsitektur di Kawasan Cagar Budaya dan di luar Kawasan Cagar Budaya. Di Kawasan Cagar Budaya terdiri atas tiga mintakat utama, yaitu mintakat inti, mintakat penyangga, dan mintakat  pengembangan.  Implementasinya  diharapkan  bangunan  baru  yang  berada  dimintakat inti disyaratkan menggunakan rancangan pola lestari asli atau pola selaras sosok, bangunan baru yang berada di mintakat penyangga disyaratkan minimal menggunakan rancangan pola selaras sosok, dan bangunan baru yang berada di mintakat pengembangan disyaratkan menggunakan rancangan pola selaras parsial. Sementara itu, bangunan baru yang berada di luar Kawasan Cagar Budaya disyaratkan minimal menggunakan rancangan pola selaras parsial. Pengendalian arahan persyaratan selanjutnya dikoordinasikan dengan Pemerintah Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan diatur dalam peraturan perundangan lain.

Arsitektur   bangunan   Yogyakarta   mengandung   unsur   identitas   sebagai   ciri   yang membedakan dengan arsitektur daerah lain. Kekhasan arsitektur diwujudkan dalam bentuk, ornamen, dan pembagian keruangan bangunan. Wujud bentuk bangunan seperti  joglo, limasan, panggangpe, kampung dan lain sebagainya. Ornamen bangunan dicirikan dengan pemakaian berbagai hiasan dibagian atap dan lain sebagainya. Pembagian keruangan bangunan dicirikan dengan adanya fungsi bangunan sebagai ruang tinggal pribadi, tempat yang nyaman dan sehat, simbol ekspresi dan interaksi sosial, serta tempat berkontemplasi atau berkomunikasi dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar