Sesanti

Sesanti

Jumat, 03 Januari 2014

WARISAN BUDAYA



WARISAN BUDAYA DAN LINGKUNGAN HIDUP DI YOGYAKARTA

(Tugu Yogyakarta tahun 1928)

Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengku Buwono I) sebagai seorang arsitek, negarawan dan budayawan sejati pada saat menentukan letak Karaton Yogyakarta sangat memegang teguh nilai historis maupun filosofis-religius yang sangat dipercaya akan berpengaruh terhadap sikap perilaku dirinya sebagai raja sampai pada para kawulanya.

Dari sisi topografi,  pemilihan  letak  Karaton  Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai inti kota Yogyakarta sangat menguntungkan. Letak kota di tanah datar dengan kemiringan 0 - 2 % ke arah selatan, di antara enam sungai yang mengapit secara simetris yaitu sungai Code dan Winanga di ring pertama, sungai Gajahwong dan kali Bedog di ring kedua serta sungai Opak dan sungai Progo di ring ketiga sangat menguntungkan bagi usaha pertanian, mempercepat peresapan air hujan dan sangat menguntungkan bagi pembuatan drainase kota. Tanah yang subur karena dekat  dengan  ginung  Merapi  dan  rakyat  tetap  tenang  apabila  terjadi letusan gunung Merapi dikarenakan banyaknya rintangan di sebelah selatan gunung Merapi yang menghalangi banjir lahar   yang menuju ke arah kota Yogyakarta.

Penentuan lokasi Karaton Yogyakarta yang diapit oleh sungai besar, di sebelah utara ada gunung Merapi dan sebelah selatan ada laut Selatan ini dapat dianalogikan dengan pemilihan lokasi bangunan suci oleh orang-orang Hindu. Menurut kitab-kitab suci agama Hindu untuk lokasi bangunan suci yang berupa candi dipilih tempat yang berbeda dengan alam sekitarnya karena menampakkan kekuasaan dewa atau keajaiban lainnya. Puncak gunung dan lereng bukit, daerah kegiatan vulkanik, dataran tinggi yang menjulang di atas tepi lembah, tepian sungai atau danau, tempat bertemunya dua sungai, adalah diantaranya daerah yang baik untuk lokasi bangunan suci (Soekmono,1991). Apabila kita telusuri aliran sungai Progo dan Elo merupakan padanannya sungai Gangga dan Jamuna di India dan tidak jauh dari tempat itu terletak bangunan suci kota Bodh Gaya dan stupa Bharhut kalau di indonesia candi Borobudur, begitu pula Ngayogyakarta yang diapit oleh dua sungai besar, sungai Opak dan sungai Progo di ring paling luar serta sungai Code dan Winongo di ring yang paling dalam. Puncak gunung (gunung Meru) menurut mitologi Hindu merupakan  tempat  bersemayamnya  para  dewa  yang  di  Yogyakarta diwakili Gunung Merapi, dan Laut Selatan mewakili samudera yang mengelilingi gunung Meru. Gunung sebagai ketenangan tempat suci, dataran pemukiman sebagai tempat aktifitas kehidupan manusia dan laut sebagai tempat pembuangan akhir dari segala sisa di bumi yang hanyut dan dihanyutkan ke laut.

Menurut konsep Kosmogoni yang berpangkal pada kepercayaan tentang  adanya  kesejajaran  antara  makrokosmos  dan  mikrokosmos, antara alam semesta atau jagat raya dengan dunia manusia termasuk raja dan kerajaannya, dalam skala yang lebih kecil jagang yang mengelilingi beteng kraton menggambarkan lautan yang mengelilingi gunung Meru, sedang komplek kraton Yogyakarta yang terletak di pusatnya menggambarkan gunung Meru, gunung pusat alam semesta yang merupakan istananya Dewa Indra. Oleh sebab itu gedhong Indrakila dan Ngendrasana di dalam kraton Yogyakarta menggambarkan istana dewa Indra di puncak gunung Meru. Di lingkungan kraton Yogyakarta ada dua tempat yang disakralkan yakni Gunung Merapi, terletak di sebelah utara kraton   dan Laut Selatan (samudra Indonesia) yang dipercayai sebagai istana Kanjeng Ratu Kidul penguasa laut selatan. Secara kosmologis kraton Yogyakarta menghadap kearah gunung Merapi (arah utara), akan tetapi agar tidak membelakangi laut selatan yang disakralkan, maka pada halaman belakang (pungkuran) kraton dibuat menyerupai halaman depan dengan membuat Alun-Alun Selatan dan Siti Hinggil selatan meskipun dengan skala yang lebih kecil.

Dengan setting lokasi seperti inilah Pangeran Mangkubumi menciptakan poros (sumbu) imajiner   Gunung Merapi - Tugu Pal Putih (Tugu Golong-Gilig) - Kraton - Panggung Krapyak - Laut Selatan. Penciptaan poros imajiner ini selaras dengan konsep Tri Hita Karana danTri Angga (Parahyangan-Pawongan-Palemahan atau Hulu – Tengah – Hilir  serta nilai Utama – Madya – Nistha ). Secara simbolis filosofis poros imajiner ini melambangkan keselarasan dan keseimbangan   hubungan manusia dengan Tuhannya (Hablun min Allah) , manusia dengan manusia (Hablun min Annas) maupun manusia dengan alam termasuk lima anasir pembentuknya yakni api (dahana) dari gunung Merapi, tanah (bantala) dari bumi Ngayogyakarta dan air (tirta)  dari laut Selatan, angin (maruta) dan akasa (either). Poros imajiner ini juga merupakan symbol dari konsep filosofi Sangkan Paraning Dumadi dan Manunggaling Kawula Gusti.

Tugu Golong Gilig/Pal Putih dan Panggung Krapyak merupakan simbol Lingga dan Yoni yang melambangkan kesuburan. Tugu golong gilig bagian atasnya berbentuk bulatan (golong) dan bagian bawahnya berbentuk silindris (gilig) dan berwarna putih sehingga disebut juga Pal Putih. Tugu Golong Gilig ini melambangkan keberadaan Sultan dalam melaksanakan proses kehidupannya yang dilandasi menyembah secara tulus kepada Tuhan Yang maha Esa dengan disertai satu tekad menuju kesejahteraan rakyat (golong – gilig) dan didasari hati yang suci (warna putih). Itulah sebabnya Tugu Golong-Gilig ini juga sebagai titik pandang utama Sultan pada saat melaksanakan meditasi di Bangsal Manguntur Tangkil di Sitihinggil Utara. Konsep filosofi hubungan manusia dengan Tuhan penciptanya (Hablun min Allah) serta hubungan manusia dengan manusia (Hablun min Annas) serta konsep manunggaling kawula – Gusti ini dilambangkan dengan keberadaan Masjid Gedhe dan ringin kurung Kyai Dewadaru di sebelah barat sumbu imajiner dan ringin kurung Kyai Janadaru di sebelah timur sumbu imajiner.

Adapun filosofi dari Panggung Krapyak ke utara merupakan perjalanan manusia sejak dilahirkan dari rahim ibu, beranjak dewasa, menikah sampai melahirkan anak (Brontodiningrat 1978). Visualisasi dari filosofi ini diujudkan dengan keberadaan kampung Mijen di sebelah utara Panggung Krapyak yang melambangkan benih manusia, pohon asem dengan daun yang masih muda bernama sinom melambangkan gadis yang masih anom (muda) selalu nengsemaken (menarik hati) maka selalu disanjung yang divisualisasikan dengan pohon tanjung.   Di alun – alun selatan menggambarkan manusia telah dewasa dan sudah wani (berani) meminang gadis karena sudah akhil baligh yang dilambangkan dengan pohon kweni dan pohon pakel. Masa muda yang mempunyai jangkauan jauh ke depan divisualisasikan dengan dengan pagar ringin kurung alun- alun selatan yang seperti busur panah. Masa depan dan jangkauan para kaum muda dilambangkan panah yang dilepas dari busurnya. Sampai di Sitihinggil selatan pohon yang ditanam pelem cempora yang berbunga putih dan pohon Soka   yang berbunga merah yang menggambarkan bercampurnya benih laki-laki (dilambangkan warna putih) dan benih perempuan (dilambangkan warna merah). Di halaman Kamandhungan menggambarkan benih dalam kandungan dengan vegetasi pohon pelem yang bermakna gelem (kemauan bersama), pohon Jambu Dersono ang bermakna kaderesan sihing sasama dan pohon Kepel yang bermakna kempel, bersatunya benih karena kemauan bersama didasari saling mengasihi. Melalui Regol Gadhung Mlathi sampailah di Kemagangan yang bermakna bayi telah lahir dan magang menjadi manusia dewasa.

Sebaliknya dari Tugu Pal Putih ke arah   selatan merupakan perjalanan manusia menghadap Sang Kholiq, meninggalkan Alam Fana menuju Alam Baqa (Poespodiningrat,1987). Golong-gilig melambangkan bersatunya cipta, rasa dan karsa dilandasi kesucian hati (warna putih) melalui   Margotomo   (jalan   menuju   keutamaan)   ke   selatan   melalui Malioboro (memakai obor/pedoman ilmu yang diajarkan para wali), terus ke selatan melaui Margomulyo (jalan menuju kemuliaan). Sepanjang jalan Margotomo, Malioboro dan Margomulyo ditanam pohon Asem yang bermakna sengsem/menarik dan pohon gayam yang bermakna ayom/teduh. Setelah melalui Pangurakan  (mengusir nafsu yang negatip) sampai di alun-alun utara yang menggambarkan kehidupan manusia yang ingin menghadap penciptanya laksana orang naik perahu yang diterjang ombak (alun). Sampai di pelataran Sri Manganti ibarat manusia di alam Barzah. Bangsal Trajumas ( Traju = timbangan, Mas = logam mulia), di sini manusia ditimbang amal baik dan amal buruknya sebelum menuju ke tujuan akhir yakni Alam Baqa (alam abadi) yang dilambangkan dengan lampu Kyai Wiji (lampu yang tidak pernah padam sejak Sri Sultan Hamengku   Buwono   I   hingga   sekarang)   di   Gedhong   Prabayaksa (bangunan yang disakralkan di kraton Yogyakarta).

Bagian   dari   Karaton   Yogyakarta   yang   lain   yang   tidak   kalah pentingnya dan masih di dalam beteng (baluwarti) kraton adalah Pesanggrahan  Taman  Sari,  atau  yang  lebih  terkenal  dengan  sebutan Istana Air ( Water Kasteel ) Taman Sari. Pesanggrahan Taman Sari ini tidak hanya sekedar   sebagai tempat bercengkerama dengan adanya kolam pemandian , pulau dan danau buatan, tempat peristirahatan dan tempat kontemplasi, tetapi lebih jauh dari itu Taman Sari pada hakekatnya mempunyai arti lain yang berdasarkan pada pertahanan. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya bangunan lorong bawah tanah yang cukup banyak,  adanya  bangunan  pulau  Cemethi  (bangunan  bertingkat  tinggi yang memungkinkan orang dapat melihat ke seluruh bagian kota), jembatan gantung dan sebaginya. Ada kemungkinan pembuatan Pesanggrahan Taman Sari oleh Sultan Hamengku Buwono I ini diilhami oleh runtuhnya pertahanan Karaton Kartasura pada saat Geger Pacina (1740 - 1743) karena tidak mempunyai pertahanan alternatif dan juga diilhami   keberhasilan   Raja   Majapahit   Brawijaya   V   yang   berhasil meloloskan diri dari kepungan musuh. Dengan demikian jelas bahwa Sultan Hamengku Buwono I pada saat membangun Taman Sari tidak meninggalkan ungkapan bahasa Jawa : Sajroning among suka, tan tinggal duga lan prayoga (Sewaktu bersuka ria tidak meninggalkan kewaspadaan dan tidak boleh lengah). Fungsi Taman Sari yang lain yang tidak kalah pentingnya adalah sebagai tempat konservasi alam, baik flora, fauna maupun air tanah. Hampir semua jenis tanaman, baik tanaman hias, tanaman buah, rempah-rempah dan tanaman obat ada di Taman Sari, begitu pula fauna yang dipelihara sepanjang kanal antara Pulau Kenanga sampai Pulau Gedhong. Adapun air untuk kolam pemandian di Taman Umbul  Binangun  memanfaatkan  air  dari  sumber  Pacethokan,  sedang untuk segaran di Pulau  Kenanga  sampai  ke pulau  Gedhong menggunakan air dari Sungai Winanga yang dialirkan ke Kraton melalui Kali Larangan. Bahkan air pengisi Jagang (parit di sekeliling Beteng Karaton) konon airnya juga diambil dari Sungai Winanga.

Tata ruang Keraton Yogyakarta seperti tersebut di atas merupakan manifestasi dari adi luhungnya budaya Jawa yang kasat mata (tangible) disamping  juga  yang  tidak  kasat  mata  (intangible)  antara  lain  seperti ajaran Sultan hamengku Buwono I   tentang  Sewiji  (Nyawiji)  ,  Greget, Sengguh,   Ora mingkuh  yang dijadikan dasar falsafah hidup, pandangan hidup dan falsafah joged Mataram.

a.  Sebagai Falsafah Hidup :

1). Sewiji
Orang harus selalu ingat kepada Tuhan Y.M.E
2). Greget
Seluruh aktivitas dan gairah hidup harus disalurkan melalui jalan Allah SWT.
3). Sengguh
Harus merasa bangga ditakdirkan sebagai makhluk tersempurna
4). Ora mingkuh
Meskipun mengalami banyak kesukaran-kesukaran dalam hidup, namun selalu percaya kepada Tuhan Yang Maha Adil

b.  Sebagai Pandangan Hidup

1). Sewiji
Apabila seseorang mempunyai cita-cita maka konsentrasi harus diarahkan ke tujuan itu.
2). Greget
Dinamik dan semangat harus diarahkan ke tujuan melalui saluran- saluran yang wajar.
3). Sengguh
Percaya  penuh  pada  kemampuan  pribadinya  untuk  mencapai tujuan.
4).  Ora mingkuh
Meskipun dalam perjalanan menuju ke tujuan (cita-cita) akan menghadapi halangan-halangan tetap tidak akan mundur setapakpun.

c.  Sebagai Falsafah Joged Mataram

1). Sewiji
Konsentrasi total tanpa menimbulkan ketegangan jiwa
2). Greget
Dinamis atau semangat yang membara di dalam jiwa setiap penari tidak  boleh  dilepaskan  begitu  saja,  akan  tetapi  harus  dapat dikekang untuk disalurkan ke arah yang wajar dan menghindari tindakan yang kasar.
3). Sengguh
Percaya diri sendiri tanpa mengarah ke kesombongan atau arogansi.
4). Ora mingkuh.
Tidak lemah jiwa atau kecil hati, tidak takut menghadapi kesukaran- kesukaran dan mengandung arti penuh tanggung jawab.

Unsur-unsur Budaya Jawa yang intangible  yang masih terpelihara di Yogyakarta adalah nilai-nilai luhur (value) dan   keyakinan-keyakinan (beliefs)  yang  digunakan sebagai rencana atau pedoman perilaku atau adat serta untuk memecahkan masalah-masalah yang berlaku dari generasi ke generasi. Salah satu nilai budaya Jawa yang masih melekat pada kehidupan masyarakat Yogyakarta adalah Hamemayu Hayuning Bawono . Secara harfiah arti hamemayu hayuning bawono adalah membuat dunia menjadi hayu (indah) dan rahayu (selamat dan lestari). Makna yang lebih dalam dari ungkapan  ini  adalah  sikap  dan  perilaku manusia yang selalu mengutamakan harmoni, keselarasan, keserasian dan  keseimbangan  hubungan   antara  manusia     dengan   Tuhannya, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan alam lingkungannya. Muara dari sikap Hamemayu Hayuning Bawono ini akan terwujud negara yang panjang, punjung gemah ripah loh jinawi,tata, tentrem, kerta tur raharja.

Niali-nilai budaya Jawa lain yang bersifat simbolis sering dimanifestasikan ke dalam bentuk upacara adat seperti upacara pernikahan, tarapan, tedhak siti, wiwit (awal menunai padi), garebeg, upacara    bersih desa, merti sungai sampai bentuk arsitektur bangunan. Upacara adat sendiri yang sampai saat ini masih sering dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Jawa pada umumnya dan masyarakat Yogyakarta pada khususnya mempunyai 3 (tiga) fungsi :

1.  Fungsi Spiritual.
Upacara adat memberikan petunjuk atau gambaran hubungan manusia dengan Tuhan    (Hablun min Allah). Pada fungsi spiritual ini kepentingan rohani manusia akan terpenuhi.
2.   Fungsi Sosial

Upacara adat melibatkan individu-individu warga masyarakat (Hablun min Annas) yang mempunyai kepentingan sama, yang dilandasi oleh kepercayaan dan keyakinan yang sama pula, sehingga dapat menciptakan kerukunan sosial dan membawa dampak terwujudnya ketenangan, ketentraman dan kesejahteraan hidup.
3.  Fungsi Pelestarian  Lingkungan Fisik / Alam.
Dibalik   konsepsi keyakinan yang tertuang dalam mitos-mitos dan upacara adat  yang dianggap sakral dan keramat tersebut  terkandung kearifan lokal yang dapat berfungsi sebagai mekanisme kontrol terhadap pengelolaan lingkungan yang cukup efektif., sehingga masyarakat sendiri yang akan memperoleh manfaat ekologis yang cukup besar.

SUMBER TULISAN: SIMPOSIUM LINGKUNGAN HIDUP DAN PARIWISATA DALAM RANGKA MEMPERINGATI 20 TAHUN KERJASAMA PROPINSI DIY DENGAN KYOTO - PERFECTURE, JEPANG
YOGYAKARTA : 18 - 19 JULI 2005
PELESTARIAN WARISAN BUDAYA JAWA DAN LINGKUNGAN HIDUP UNTUK MENDUKUNG INDUSTRI PARIWISATA DI DIY * Oleh : YUWONO SRI SUWITO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar