Sesanti

Sesanti

Minggu, 05 Januari 2014

13. Kejuangan



TATA NILAI KEJUANGAN DAN KEBANGSAAN

Yogyakarta merupakan salah satu komponen yang amat penting dalam sejarah Republik Indonesia.  Sejak  Pangeran  Mangkubumi  yang  kemudian  bergelar  Sultan  Hamengku Buwono I mendirikan Negari Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai wujud kemandirian dan kedaulatan politik atas dominasi Pemerintah Hindia Belanda, diteruskan oleh  perjuangan Pangeran Diponegoro, berdirinya organisasi Budi Utomo, Kongres Perempuan, Kongres Pemuda I, kemudian menjelang dan setelah proklamasi - rentetan peristiwa di saat-saat genting dalam mempertahankan eksistensi Negara Republik Indonesia yang masih muda itu - hingga gerakan pendorong lahirnya reformasi. Seluruh rentetan peristiwa itu menunjukkan betapa rakyat Yogyakarta memiliki, memegang teguh, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kejuangan dan kebangsaan.   Segera setelah Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan  kemerdekaan  Indonesia  17  Agustus  1945,  Sri  Sultan  Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII pada tanggal 19 Agustus 1945 mengirim telegram ucapan selamat dan dukungan atas berdirinya Negara Indonesia. Pada tanggal 19 Agustus 1945 itu juga ternyata Presiden Sukarno menandatangani Piagam Penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII dalam kedudukannya sebagai Pemimpin Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman, yang oleh Presiden Repubilk Indonesia keduanya dipercaya akan mencurahkan segara pikiran, tenaga, jiwa dan raga untuk keselamatan Daerah Yogyakarta sebagai bagian dari Republik Indonesia.

Selanjutnya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII secara sendiri-sendiri pada tanggal 5 September 1945 mengeluarkan maklumat bahwa Negari Ngayogyakarta Hadiningrat  dan  Kadipaten  Pakualaman  menjadi  bagian  tak  terpisahkan  dari  Negara
Indonesia, dan kedua pemimpin tetap menjadi kepala negeri masing-masing yang bersifat kerajaan; dan negerinya itu merupakan Daerah Istimewa dalam Negara Republik Indonesia. Hubungan kedua negeri tersebut dengan Pemerintah Pusat Negara Kesatuan Republik Indonesia bersifat langsung dan kedua pemimpin Yogyakarta itu bertanggung jawab secara langsung atas negeri masing-masing kepada Presiden Republik Indonesia. Maklumat kedua pemimpin Yogyakarta itu mendapat sambutan baik dari Pemerintah Pusat Republik Indonesia di Jakarta. Tanggal 6 September 1945, Pemerintah Pusat mengutus Mr. Sartono dan Mr. A. A. Maramis menyerahkan ”Piagam Penetapan Kedudukan” yang telah ditandatangai Presiden Sukarno pada tanggal 19 Agustus 1945 itu kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII.

Ketika Jakarta kurang aman, ibu kota negara dipindahkan ke Yogyakarta atas saran Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Di Yogyakartalah eksistensi Negara Republik Indonesia yang masih   muda   itu   dipertaruhkan   dan   dengan  mati-matian   dipertahankan.   Sri   Sultan Hamengku Buwono IX, Sri Paku Alam VIII, para birokrat, para diplomat, para pejuang bersenjata,   dan   seluruh   rakyat   Yogyakarta   bahu-membahu   menegakkan   Republik Indonesia dengan pengorbanan pikiran, tenaga, harta benda, bahkan nyawa. Semua itu dipersembahkan tampa pamrih (sepi ing pamrih) demi tegaknya eksistensi Negara Republik Indonesia. Semangat berani dan rela berkorban, kesetiakawanan sosial (solidaritas; sabaya pati, sabaya mukti), persatuan dan kekompakan (saiyek saéka praya) baik antarpemimpin, antarrakyat, maupun antara rakyat dan pemimpin (manunggaling kawula gusti), jiwa tanpa pamrih, cinta tanah air (patriotisme), rasa kebangsaan (nasionalisme), dan kegigihan menjaga martabat bangsa dan negara (sedumuk bathuk senyari bumi; dilabuhi pecahing jaja   wutahing   ludira)  merupakan   nilai-nilai   luhur   yang   dijunjung   tinggi   masyarakat Yogyakarta.

Partisipasi warga Yogyakarta dalam memperjuangkan dan dengan gigih mempertahankan tegaknya kemerdekaan dan ekesistensi negara Republik Indonesia itu dilandasi oleh kesadaran bahwa dalam diri tiap-tiap warga tertanam perasaan memiliki negara ini (duwé rasa handarbèni), sehingga apabila terjadi sesuatu yang dapat mengancam, merusak, atau bahkan merobohkan kedaulatan negara, warga Yogyakarta siap berjuang sampai titik darah yang penghabisan (wani mèlu hangrungkebi). Setiap warga Yogyakarta senantiasa mawas diri  dan  berusaha  keras  memberi  kontribusi  kepada  masyarakat,  bangsa,  dan  negara (mulat salira hangrasa wani).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar